Tuesday, April 27, 2010

ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PERKARA NO. 690/Pdt.G/2007/PA.Sby



A. Analisis terhadap Dasar Hukum dan Pertimbangan Hakim dalam memutuskan Perkara No. 690/Pdt.G/2007/PA.Sby
Hakim Pengadilan Agama Surabaya telah memberi ijin kepada Pemohon untuk menjatuhkan talak terhadap Termohon, karena sejak awal perkawinan antara keduanya sudah tidak ada rasa saling cinta yang melandasi sebuah rumah tangga yang rukun damai dan tentram. Hal ini dibuktikan dengan adanya keterpaksaan dari Pemohon untuk menikahi Termohon yang mengakibatkan rumah tangga tersebut telah retak dan pecah (sesuai dengan pasal 19 (f) PP No. 9 tahun 1975 dan surat al Baqarah ayat 227). Sehingga salah satu merasa enggan untuk hidup bersama apalagi untuk melakukan hubungan suami isteri (persetubuhan), namun hal tersebut bukan karena kenusyuzan dari isteri.
Dari uraian tentang duduk perkara pada bab III, bahwa terjadinya perselisihan antara Pemohon dan Termohon dikarenakan kesalahan-kesalahan yang timbul dari masing-masing pihak, maka berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung No. 38 K/Ag/1990 bahwa alasan terjadinya pertengkaran yang terus menerus adalah tanpa harus melihat siapa yang bersalah, hal ini sesuai dengan pasal 19 (f) dan pasal 22 (2) PP No. 9 Tahun 1975 serta pasal 116 (f) KHI bahwa alasan untuk melakukan perceraian telah terpenuhi.
Hakim memutuskan bahwa suami dibebankan untuk memberi nafkah yang terabaikan (madliyah) kepada isteri, karena sejak akad nikah sampai Pemohon mengajukan permohonan cerai talak, Pemohon tidak pernah memberi nafkah, dan hakim memandang bahwa nafkah tersebut adalah hak isteri yang terhutang yang wajib dilunasi oleh suami menurut kemampuannya, berdasarkan pasal 80 (4) KHI. Serta mengenai biaya persalinan juga merupakan kewajiban suami yang bertanggungjawab terhadap segala pembiayaan isteri selama dalam masa perkawinan.
Namun yang perlu diperhatikan berkenaan dengan rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Majelis Hakim menghukumi bahwa status hukum yang dapat dikenakan terhadap perceraian antara Pemohon dan Termohon adalah bersatus ba’da dukhu>l, yang mana dapat diartikan bahwa semasa perkawinan antara Pemohon dan Termohon telah benar-benar pernah melakukan hubungan suami isteri, sehingga sesuai dengan pasal 149 (a) dan 152 KHI dinyatakan bahwa bekas isteri berhak memperoleh mut’ah berdasarkan kemampuan dari suami. Padahal dalam kenyataannya tidak demikian, bahwa persetubuhan yang dilakukan oleh kedua pihak antara Pemohon dan Termohon tidak pada tempatnya. Maksudnya adalah bahwa persetubuhan tersebut dilakukan jauh sebelum dilaksanakannya perkawinan antara Pemohon dan Termohon (hubungan di luar nikah).
Seharusnya apabila kita merujuk pada peraturan mengenai perceraian yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam walaupun tidak menjelaskan secara eksplisit, namun yang dapat dikatakan sebagai talak yang terjadi ba’da dukhu>l adalah talak yang dijatuhkan pada saat pernah terjadi hubungan suami isteri dalam masa pernikahannya. Sehingga apabila dalam pernikahan antara Pemohon dan Termohon belum pernah sama sekali melakukan hubungan suami isteri, maka apabila telah diputus perceraian status hukumnya adalah qabla dukhu>l. Akan tetapi dalam kasus ini, Majelis Hakim dalam Pengadilan Agama Surabaya, memiliki pertimbangan lain.
Diantara pertimbangan Majelis Hakim ialah, demi kemaslahatan bersama dan menghindari kemadharatan bagi kedua belah pihak. Karena walaupun Penggugat (Termohon) dan Tergugat (Pemohon) setelah perkawinannya belum pernah melakukan hubungan suami istri (qabla dukhu>l) akan tetapi karena sebelum perkawinannya Penggugat (Termohon) dan Tergugat (Pemohon) telah melakukan (hubungan di luar nikah) sehingga Penggugat hamil dan dalam masa perkawinan penggugat melahirkan anak, maka Majelis Hakim sepakat untuk menghukumi dengan status ba’da dukhu>l, karena Majelis Hakim melihat manfaat dan mad}a>rat dari kepentingan si isteri sebagai Termohon (Penggugat), mengingat bahwa si istri tidak nusyu>z, dan apabila dihukumi dengan status qabla dukhu>l, maka istri akan banyak memperoleh madharat, misalnya isteri tidak akan memperoleh mut’ah, dan anak tidak akan memperoleh biaya asuhan dan pemeliharaan dari seorang ayah (Pemohon), sehingga memberatkan istri dalam mengasuh dan memelihara anak dengan sendirian.
Dari apa yang menjadi pertimbangan dan dasar hukum hakim, penulis melihat bahwa pertimbangan dan dasar hukum hakim tersebut adalah hakim melihat pada konteks keadaan si isteri (Termohon) yang selama dalam masa sebelum perkawinan sampai perkawinan, hingga masuk pada persidangan terlihat sangat dirugikan oleh pihak suami (Pemohon). Karena selama masa mengandung, Termohon tidak mendapatkan dukungan kasih sayang (mental) dan material dari Pemohon sebagai suami, sehingga dapat mengakibatkan isteri mengalami beban mental, serta moral yang cukup berat yang disebabkan karena ketidak acuhan dari Pemohon serta kebohongan-kebohongan yang disebarkan ke masyarakat.
Mengenai status anak tersebut adalah anak sah, karena anak tersebut dilahirkan dalam perkawinan yang sah, walaupun dari perbuatan yang dilakukan diluar nikah. Hal tersebut mengacu pada pasal 42 undang-undang No. 1 tahun 1974, dan pasal 99 (a) KHI, sehingga suami isteri dalam hal ini bapak dan ibunya wajib memelihara dan mendidik anak tersebut sesuai dengan pasal 41 (b) undang-undang No. 1 tahun 1974 dan pasal 156 (d) KHI. Dengan adanya perceraian ini, maka berkaitan dengan hak asuh anak diberikan kepada Termohon sebagai ibu kandung dari bayi tersebut, yang sesuai dengan pasal 105 (a) dan 156 KHI.
Didalam kompilasi terdapat ketentuan pada pasal 152 yang menyatakan bahwa bekas isteri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya, kecuali bila ia nusyuz.
Dari pertimbangan tersebut diatas kurang cukup beralasan dan penulis menilai bahwa apa yang menjadi pertimbangan majelis hakim kurang berada pada keputusan yang benar. Oleh karena itu, tidak cukup konstitusional jika pada perkara tersebut status perceraiannya ditetapkan dengan status ba’da dukhu>l.
B. Analisis Hukum Islam terhadap Putusan Perkara No. 690/Pdt.G/2007/PA.Sby
Apabila terjadi perceraian antara suami isteri yang sudah pernah melakukan hubungan diluar nikah, namun dalam masa pernikahan belum sama sekali melakukan hubungan suami isteri, seperti dalam perkara No. 690/Pdt.G/2007/PA.Sby yang oleh hakim diputuskan cerai t}alak ba’da dukhu>l, dengan ini Hukum Islam telah memberi pijakan bahwa dalam firman Allah surat Al-Ah}za>b ayat 49, dijelaskan sebagaimana seorang laki-laki yang mukmin apabila menikahi perempuan yang beriman, kemudian laki-laki tersebut menceraikannya sebelum mencampurinya, maka sekali-kali mereka tidak mempunyai kewajiban melaksanakan iddah bagi suami yang meminta isteri tersebut untuk menyempurnakannya. Jadi maksud dari ketentuan diatas adalah bagi suami yang mentalak isteri sebelum mencampurinya (qabla dukhu>l).
Demikian juga dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 236, apabila seorang suami menceraikan isterinya sebelum dia bercampur dengan isterinya dan sebelum mahar ditentukan, maka tidak ada kewajiban bagi suami membayar mahar terhadap isteri tersebut. Namun sebagai penggantinya suami diwajibkan memberikan suatu mut’ah (pemberian) kepada isteri tersebut, menurut kemampuan suami dalam memberikannya (menurut yang patut). Namun apabila suami sudah menentukan mahar sebelumnya, maka kewajiban suami adalah membayar setengah dari mahar yang sudah ditentukan tersebut yang sesuai dalam firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 237.
Dalam perkara No. 690/Pdt.G/2007/PA.Sby hakim memutuskan cerai talak antara pemohon dan termohon yang belum pernah melakukan hubungan suami isteri dalam masa perkawinan, namun sudah melakukan persetubuhan sebelumnya, hingga terjadi kehamilan dengan status ba’da dukhu>l, maka hal yang dijadikan pertimbangan oleh hakim dalam memutuskan hukum pada perkara tersebut adalah demi kemaslahatan bersama khususnya bagi isteri dan anak yang baru dilahirkan itu sendiri. Karena dari awal sebelum dilangsungkannya perkawinan, isteri hamil dan harus menanggung beban mental, serta moral yang cukup berat yang disebabkan karena sikap acuh dari Pemohon yang sebelumnya tidak menginginkan untuk menikahi Termohon serta kebohongan-kebohongan yang disebarkan ke masyarakat. Selain itu, ketika anak yang dikandung Termohon lahir pada saat masih dalam perkawinan, apabila dalam perceraiannya dinyatakan berstatus qabla dukhu>l, maka anak tersebut sepertinya tidak dianggap keberadaannya. Karena apabila ada anak dilahirkan dalam masa perkawinan, maka pastinya ada hubungan suami isteri terlebih dahulu sebelumnya. Seperti halnya hubungan causalitas, bahwa ada akibat pasti ada sebab.
Namun menurut penulis, hal diatas bukan menjadi alasan untuk itu. Karena meskipun tanpa dihukumi cerai talak ba’da dukhu>l, anak tetap akan menjadi anak sah, hal ini sudah diakui dalam UU No. 1 Tahun 1974 pasal 42 bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Oleh karena itu terkait dengan perkara No. 690/Pdt.G/2007/PA.Sby tentang status ba’da dukhu>l antara Pemohon dan Termohon yang belum pernah melakukan hubungan suami isteri diatas, maka berdasarkan ketentuan al-Qur’an tersebut menurut penulis seharusnya status perceraian antara Pemohon dan Termohon tersebut adalah qabla dukhu>l. Sebagaimana pendapat Syafi’i yang tidak menganggap kehamilan sebagai penghalang pernikahan, karena kehamilan tersebut dianggap tidak ada. Sedangkan mut’ah yang wajib diberikan, penulis sependapat dengan putusan hakim karena meskipun dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 149 (a) yang menyebutkan bahwa apabila perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya baik berupa uang atau benda, kecuali apabila bekas isteri tersebut qabla dukhu>l. Sehingga dapat dipahami bahwa perceraian dengan status qabla dukhu>l (sebelum melakukan hubungan suami isteri), maka bekas suami tidak wajib memberikan mut’ah kepada bekas isteri. Namun bukan berarti bekas suami tidak boleh atau tidak dapat memberikan mut’ah sebagai penghibur bekas isteri atas keinginan pribadi dari bekas suami, sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Ah}za>b ayat 49.
Selain itu Syafi’i juga menambahkan bahwa apabila laki-laki dan perempuan melakukan persetubuhan diluar nikah, dan selama perkawinannya belum terjadi persetubuhan, maka ‘iddah tidak diwajibkan baginya. Dalam hal ini perceraiannya termasuk kedalam t{alaq qabla dukhu>l, sehingga talaknya termasuk t}alaq ba>’in sugra> . Karena telah kita ketahui bahwa adanya ‘iddah merupakan kewajiban bagi isteri yang dicerai dalam keadaan pernah dicampuri. Sehingga apabila ‘iddah tidak diwajibkan, maka telah jelas bahwa selama perkawinan isteri tersebut belum pernah dicampuri.
Terkait dengan hal diatas, hendaknya Pengadilan Agama Surabaya tidak hanya melihat dari satu sisi saja, bahwa dengan status perceraian ba’da dukhu>l, pastinya terdapat akibat-akibat yang timbul darinya. Yaitu isteri mendapatkan mut’ah, isteri harus menjalani iddah dengan nafkah iddah dari bekas suami, suami berkewajiban memberikan nafkah yang lampau apabila dalam masa perkawinan ada nafkah yang belum dibayar, dan membiayai persalinan isteri, serta suami juga berkewajiban memberi nafkah terhadap anak hingga usia dewasa. Namun dalam kenyataannya hakim tidak memutuskan keseluruhannya demikian, jadi hanya sebagian dan ada yang tidak yaitu bahwa isteri harus menjalani iddah dengan nafkah iddah dari bekas suami.
Dengan demikian, sebenarnya walaupun tidak dihukumi ba’da dukhu>l, namun hakim memberikan putusan yang sebenarnya putusan tersebut adalah akibat dari cerai talak qabla dukhu>l.
Dalam Pasal 41 (c) UU No.1 Tahun 1974 dan KHI pasal 149 (b) menentukan bahwa pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan keperluan hidup (nafkah) kepada bekas isteri, dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. Artinya, pengadilan yang memutuskan perkawinan, dapat atau boleh menentukan agar dari harta kekayaan bekas suami diambil sebagian tertentu untuk diberikan kepada bekas isteri untuk keperluan hidup (nafkah) setiap bulannya. Adapun jumlah keperluan hidup tersebut ditentukan berdasarkan besar kecilnya penghasilan bekas suami, yang memungkinkan bekas isteri dapat bertahan dalan suatu cara hidup yang pantas. Dengan demikian bekas suami mempunyai kewajiban untuk memberikan keperluan hidup kepada bekas isterinya setelah perceraian, disamping biaya pemeliharaan dan biaya pendidikan anak.
Akan tetapi, kewajiban bekas suami untuk memberikan keperluan hidup (nafkah) kepada bekas isterinya ialah bersifat fakultatif. Artinya bahwa pengadilan “boleh” atau “dapat” membebankan kewajiban pada bekas suami untuk memberikan keperluan hidup pada bekas isterinya. Dengan demikian tidak merupakan keharusan, tetapi pengadilan boleh atau dapat menetapkan kewajiban tersebut. Sehingga dalam hal ini hakim tidak memutuskan nafkah iddah bagi bekas isteri.
Sehingga seharusnya tidak hanya ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI saja, namun ketentuan dalam Al-Qur’an maupun pendapat ulama juga dapat diberlakukan dalam kasus ini, maka tidak sebaiknya jika hakim memutuskan perceraian dengan status ba’da dukhu>l. Dengan demikian, alangkah baiknya sesuai dengan ketentuan diatas bahwa perceraian tersebut diputus dengan status qabla dukhu>l.

No comments:

Post a Comment