Saturday, April 24, 2010

BERFIKFIR DALAM BERFILSAFAT

APAKAH SEBENARNYA BERFIKFIR

Apakah sebenarnya berfikir? Bagaimana mungkin bahwa berfikir membantu kita dalam mengetahui sesuatu? Bagaiamana pengetahuan itu dibentuk dan jalan manakah yang ditempuh penelitian keilmuan? Dan akhirnya, sebuah pertanyaan yang paling penting:
1. Apakah nilai kegiatan semua ini?
2. Dapatkah kita mempercai apa yang dihasilkan dan membiarkan dia memimpin kita lewat pengetahuan keilmuan?.
apakah sebenarnya berfikir? Secara umum maka tiap perkembangan dalam ide, konsep dan sebagainya dapat disebut berfikir. Karena itu maka definisi yang paling umum dari berfikir adalah perkembangan ide dan konsep. Pemikiran keilmuan bukanlah suatu pemikiran yang biasa. Pemikiran keilmuan adalah pemikiran yang sungguh-sungguh. Artinya suatu cara berfikir yang berdisiplin, dimana seseorang yang berfikir sungguh-sungguh takkan membiarkan ide dan konsep yang sedang dipikirkannya berkelana tanpa arah, namun akan diarahkannya pada tujuan tertentu. Tujuan tertentu itu dalam hak ini adalah pengetahuan.
Akan tetapi bagaiamanapemikiran seperti itu membuahkan pengetahuan bagi kita? Seseorang mungkin berfikir bahwa objek yang ingin kita ketahui sebenarnya sudah ada, sudah tertentu (Given), jadi disini tidak diperlukan adanya pemikiran, yang harus dilakukan hanya sekedar membuka mata kita atau memusatkan perhatian kita terhadap objek tersebut. Kalau ternyata objek yang ingin kita ketahui itu belum tertentu (no-given) maka kelihatannya berfikir tidak akan pernah mendekatkan kita kepadanya. Namun ternyata semua itu tidak benar. Dalam kedua hal diatas, kalau kita mau menyimak pengalaman kita, berfikir ternyata memerankan peranan yang sangat membantu bahkan sangat menentukan
Umpanya marilah kita lihat dalam contoh yang pertama, dimana objek yang kita ketahui sudah tertentu. Yang harus disadari adalah bahwa objek tersebut tak pernah sederhana. Biasanya objek itu sangat rumit. Mungkin mempunyai berarus-ratus segi, aspek karakteristik dan sebagainya. Pikiran kita tak mungkin untuk mencakup semuanya dalam suatu ketika. Dalam rangka untuk mngenal benar-benar objek semacam itu, seseorang harus dengan rajin memperhatikan semua seginya, membanding-bandingkan apa yang telah dilihatnya, dan selalu melihat serta menganalisis objek tersebut dari baerbagai pendirian yang berbeda. Kesemunya ini adalah berfikir.
Marilah kita ambil contoh cara berfdikir dalam menghadapi hal semacam ini. Umpanya saja bahwa terdapat noktah merah dimuka mata saya. Mula-mula seseorang mungkin membayangkan bahwa hakl ini sangat sderhana, yang perlu dia lakukan hanya sekedar membuka matanya untuk dapat melihat noktah tersebut. Jika kita perhatikan lebih lanjut bahwa noktah itu bukan saja muncul dalam latar belakang yang mempunyai warna yang berbeda namun juga pada sesuatu yakni si pembawa noktah tersebut. Disini lalu kita menemukan paling tidak tujuh unsur: latar belakang, warna, dimensi, bentuk, keunikan, intensitas dan akhirnya si pembawa. Contoh diatas adalah masalah yang sangat sederhana bahakan kelihatannya remeh.
Tetapi, didalam kegiatan keilmua, cara berfikir seperti ini memegang peranan yang kurang penting. Disana titik berat terletak dalam usaha untuk memahami objek yang belu ditetapkan dan cara berfikir seperti ini dinamakan penalaran (reasening), dalam hubungan ini, saya ingin menandaskan sesuatu yang penting. Seperti yang telah saya katakan, hanya terdapat dua kemungkinan dalam hubungan dengan objek yang ingin kita ketahui: apakah objek telah ditetapkan atau belum. Jika objek itu telah ditetapkan maka yang kita lakukan hanyalah melahatnya dan menggambarkannya; jika hal itu belum ditetapkan, maka kita tak punya pilihan lain keceluali menemukan sesuatu hal tentang objek tersebut yakni dengan jalan menalar. Tak ada jalan yang ketiga kearah pengetahuan. Wajar saja jika seseorang mempercayai seseautu namun kepceryaan bukanlah pengetahuan. Kita hanya dapat mengetahui dengan jalan mengamati atau menalar.
Penalaran mempunyai banyak masalah yang sulit. Masalah yang penting adalah bagaimana caranya kita menemukan atau mengetahui sesuatu objek yang belum tertentu lewat penarikan kesimpulan. Contoh dibawah ini akan menjelaskan hal itu. Jika seseorang bertanya kepada saya: berapkah 23.169 X 7.847? mula-mula saya tidak tahu. Tetapi setelah saya duduk dan mengerjakan perkalian tersebut lalu saya tahu bahwa 23.169 X 7.847 adalah 181.807.143. tetapi proses perkalian ini adalah berfikir: adalah penalaran. Karena itu barang siapa yang mempertahankan pendapat bahwa hasil perkalian tersebut dapat diketahui tanpa nalar, tanpa perhitungan, maka harus meyakinkan saya bagaimana hal itu mungkin dilakukan. Dan kalau ternyata tidak bisa maka ia harus mengakui saya memang mempelajari sesuatu dengan jalan menalar.
Penalaran harus memenuhi dua persyaratan:
1. Harus adanya presmis tertentu yang berupa pernyataan yang kebenarannya yang telah diketahui atau dapat diterima.
2. harus mempunaya cara dalam penarikan kesimpulan (inferens)
umpanya, dalam rangka untuk mendeduksikan bahwa “jalan adalah basah” maka saya harus mempunyai dua premis seperti: “jika hari hujan maka jalan basah”, dan “sekarang sedang turun hujan”, disamping itu saya harus mengenal aturan yang ahli logika dinamakan modus penendo ponens yang secara umum berarti: bahwa jika terdapat kalimat yang memenuhi persyaratan tertentu-kalimat yang dimulai dengan “jika”- dan anteseden-nya, maka konsekuensinya dapat diterima Terdapat dua bentuk aturan yang berbeda satu sama lain:
A. aturan yang pasti; artinya, bila peraturan ini diterapka dengan baik maka hasilnya adalah benar. Contoh dari peraturan ini adalah modus penendo penens yang disebut terdahulu.
B. Cara yang kedua adalah aturan yang tidak pasti, dan sayangnya ilmu lebih banyak mempergunakan aturan ini dibandingkan dengan peraturan yang pasti.
Tetapi dalam kehidupan, terutama dalam ilmu, kita mengambil kesimpulan hampir selalu dengan cara seperti ini. Apa yang dinamakan induksi, umpanya, adalah proses penarikan seperti ini. Dalam induksi kita mempunyai premis seperti “beberapa individu bertingkah laku seperti anu”. Dari logika kita tahu bahwa jika semua individu bertingkah laku seperti anu pula. Karena individu bertingkah laku seperti anu, maka berdasarkan hal ini, kita lalu menarik kesimpulan, bahwa individu semua individu bertingkah laku seperti anu.
Tentu saja, jalan pikiran dalam ilmu tidfaklah sederhana seperti apa yang dilukuskan diatas tadi. Jauh dari itu. Manusi yang telah mngembangkan metode yang sangat teliti dalam memperkuat kesimpulan yang tidak pasti. Akibatnya adalah bahwa teori-teori keilmuan tidak kebenaran yang pasti. Apa yang mampu yang dilakukan ilmu, dan apa yang sebenarnya memang dilakukan ilmu, semuanya hanyalah bersifat kemungkinan (peluang).
Namun dengan adanya hakekat peluang ini semuanya tidak lantas jadi mudah begitu saja seperti apa yang diduga orang. Pertama sekali, bahkan sampai hari ini, kita tidask tahu berapa peluang dari hipotesis kita tersebut. Jika kita telah mengetahui apakah sebenarnya peluang itu, maka kita masih harus menjawab pertanyaan: bagaimana caranya kita memperoleh peluang? Sampai sekarang kita masih belum mampu untuk menentukan hal ini dengan pasti.
Saya sadar, bahwa semua keraguan ini nampaknya seakan-akan suatu yan tak berdasar, bila ditinjau dari segi keberhasilan apa yang dicapai oleh ilmu. Tetapi coba katakan pada saya; dasar apa yang kita punyai untuk menganggap bahwa matahari akan terbit esok hari? Kemungkinan besar kita akan menjawab hal ini memang terjadi demikian. Tetapi penalaran seperti ini tidaklah cukup. Sebagasi contoh untuk bertahun-tahun lamanya kucing bibi saya datang kekamarnya tiap pagi lewat jendela; tetapi suatu hari ternyata dia tidak datang lagi. Jika kita mengatakan bahwa hukum alam adalah seragam maka saya akan bertanya bagaimana caranya kita mengetahui hal itu? Apa hal ini disebabkan karena kita melihat keseragaman ini berlaku sampai sekarang, sepertti kasus matahari, atau contoh kucing itu? Dari sini jelas kelihatan bahwa kita tak dapat mengambil kesimpulan bahwa di kemudian hari hukum itu akan tetap seragam.
Pertimbangan-pertimbangan ini menyebabkan kita mempunyai sikap yang lebih jelas terhadap ilmu. Prinsip-prinsip dari sikap ini dapat diformulasikan sebagai berikut
1. Dari segi, ilmu-jika hal itu merupakan ilmu sebenarnya – jelas merupakan sesuatu yang paling baik dari kita yang kita punyai. Ilmu adalah sangat berguna.
2. bahkan dilihat dari teoritis, kita hampir tak punya sesuatu yang lebih baik dari pada ilmu dalam hal menjelaskan alam. Ilmu memberikan kepada kita, sebagai tambahan terhadap uraian tentang gejala yang diamati, pernyataan yang bersifat peluang, tak mungkin kiata peroleh sesuatu yang lebih dari ini dimana pun juga.
3. sikap ini di turunkan dari kaidah, bahwa orang yang berfikir harus memihak ilmu dan menentang kekuasaan manusia, bila terjadi kontradiksi antara mereka. Kontradiksi ini umpamanya bila ilmu bertentangan dengan ideologi: yakni argumentasdi yang disusun berdasarkan kekuasaan, baik kekuasaan manusia, sosial maupun kekuasaan-kekuasaan lainnya. Karena alasan ini maka praktis semua ahli falsafah di seluruh dunia harus menolak dan mengutuk berdasarkan penolakan Marx, Engels dan lenin terhadap ilmu. Penolakan ini adalah irrasional dan tak dapat diterima.
4. karena ilmu untuk sebagian besar hanya memberikan pernyataan yang bersifat mungkin, maka bisa terjadi bahwa hal itu lantas ditolak berdasarkan sesuatu yang pasti, ilmu bukanlah sesuatu yang pasti , dan jika kita menemukan yang pasti dimana penemuan itu menentang apa yang dipertahankan ilmu, maka kita harus memihak kepada sesuatu yang pasti tersebut dan menentang teori keilmuan.

No comments:

Post a Comment