Tuesday, April 27, 2010

DEKONSTRUKSI TEKS ALQUR’AN

(Suatu Tinjauan Nasr Hamid Abu Zayd)


Nasr Hamid Abu Zayd lahir di Thantha – Mesir pada 10 Juli 1943 dari keluarga yang taat beragama. Beliau salah satu tokoh intelektual muslim kontemporer yang mempunyai pemikiran brilian dalam membedah teks keislman, terutama teks al-qur’an. Dari analisis kritisnya itu, beliau harus menerima konsekuensi dari tanah kelahirannya. Yakni di tuntut untuk bercerai dengan istrinya dan di buang dari daerah kelahirannya. Karena stigma pemikiran yang dianggap keluar dari rel yang ada. Namun demikian beliau tidak pudar untuk terus mengkaji islam secara kritis untuk membongkar dominasi dan hegemoni pola interpretasi ulama’ klasik.
Sumbangsih pemikiran beliau, ikut mewarnai kontestasi pemikiran yang marak pada zamannya dan berimplikasi positif pada pemikiran islam generasi berikutnya. Pola tafsir yang monoteistik dengan tendensi repetitif itu di anggap tidak memberi ruang lebih kritis pada manusia untuk reinterpretasi yang sesuai dengan semangat zaman. Sehingga monopoli tafsir semacam itu, tidak lebih dari sekedar memantapkan status quo, dan jika berhadapan model interpretasi yang berbeda dengan mereka, dianggap melenceng dari jalur yang telah di tetapkan, akibatnya harus menanggung resiko dari perbuatannya. Seperti kasus yang terjadi pada Nasr Hamid Abu Zayd.

Mengais Hikmah Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd
Dalan kerangka pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd menyebutkan bahwa peradaban yang terkonstruk dalam tradisi Arab-Islam adalah peradaban teks. Yakni suatu peradaban yang epistemologinya dibangun melalui dialektika manusia dengan realitas kesejarahannya di satu sisi dan proses dialog kreatif manusia dengan teks di sisi lain. Pada aras ini, Abu Zayd melakukan telah komprehensif atas tradisi Arab-Islam pada lokus pembacaan teks.
Ketika mendekati teks al-Qur’an, Abu Zayd membedakan antara konsep ‘kalam‘ dan ‘lughah‘. Dimana ide dasarnya mengasumsikan bahwa inspirator al-Qur’an adalah Tuhan itu sendiri. Tetapi, saat kalam Tuhan yang bersifat supranatural tersebut memasuki realitas semesta, dengan memilih Muhammad yang bersifat natural sebagai penerima dan penyampainya melalui medium komunikasi lughah (bahasa Arab), maka pada detik yang sama, sesungguhnya wahyu tersebut telah tersejarahkan dan termanusiakan oleh ‘intervensi’ budaya dan bingkai sistem bahasa yang ada.
Bagaimanapun, terdapat ‘jarak’ (distansi) ontologis antara realitas Tuhan dengan realitas Muhammad dan bahasanya. Karena itulah, bagi Abu Zayd, al-Qur’an perlu dilihat sebagai teks yang bersifat historis, lahir dalam budaya masyarakat tertentu, dan berarti mewakili karakter kultural tertentu pula. Sehingga al-Qur’an dapat menjadi subyek interpretasi dan pemahaman yang bersifat historis.
Persoalannya kemudian, telaah bagaimana yang memungkinkan ‘problem jarak’ tersebut tak menghalangi pemahaman manusia yang serba terbatas dan kurang itu untuk sampai kepada ‘maksud’ Tuhan dalam kesempurnaan dan kemutlakan-Nya ?
Pada konteks ini Abu Zayd menekankan perlunya pembacaan al-Qur’an tidak hanya sebatas konteks narasi (kebahasaan), melainkan juga harus mengindahkan konteks kultural dan konteks pembacaan terkait. Teks kemudian diletakkan Abu Zayd pada dua wilayah epistemologi : Pertama, analisis wacana (‘ilm tahlil al-khitab). Dan kedua, ilmu tanda atau semiotika (‘ilm al-’alamat).
Analisis Abu Zayd terlihat memperhatikan fungsi tiga struktur (triadic structures) yang lazim dalam tradisi hermeneutika, yaitu : pengarang (al-muallif) atau maksud (al-qasd), teks (al-nas), dan pengkaji (al-naqid) atau penafsiran (al-tafsir). Interaksi antarstruktur yang terjalin memungkinkan terjadinya proses interpretasi baik secara langsung (mubashir), dimana makna ditemukan ketika membaca, maupun tidak secara langsung (ghayr mubashir) dengan mengaplikasikan metode dan perspektif tertentu.
Dari sini Abu Zayd mengklasifikasikan antara makna khas (spesifik), yaitu yang bersifat partikular-temporal (al-dalalat al-juziyat al-waqtiyah), dengan makna ‘am (general) yang bersifat umum universal (al-dalalat al-’amat al-kulliyat). Adapun mekanisme pembacaan teksnya bergerak dari makna khas dengan konteks kultural dimana ia lahir di masa lampau kepada penemuan makna ‘am. Baru kemudian dari yang ‘am, pembacaan bergerak untuk mengaplikasikan signifikansi teks kepada makna yang khas dengan konteks kekinian.
Demi maksud supaya teks keagamaan dapat bekerja sebagai petunjuk jalan hidup kekinian manusia itulah, tampaknya, ketika membaca sejarah penafsiran dalam tradisi Arab-Islam, Abu Zayd memandang perlunya usaha-usaha pembongkaran dilakukan terhadap konstruk pemikiran klasik. Sejauh ini, dalam kacamatanya, dunia pemikiran yang ada seolah mengalami semacam pembekuan karena pola interpretasi yang dipelihara hanya bersifat repetitif (pengulangan-pengulangan). Sementara repetisi yang terkonstruk akan cenderung menjelma menjadi ideologi yang kemudian berpotensi menghegemoni penafsiran sehingga bersifat monolitik.
Untuk itu, menurut Abu Zayd, yang lantas patut dikembangkan adalah sebuah pola pembacaan yang kritis dan produktif (al-qira’ah al-muntijah). Pembacaan yang mampu menguak aspek-aspek positif dan negatif dari suatu wacana atau teks keagamaan tanpa harus terkungkung oleh sikap fanatisme dan pengkultusan hasil-hasil ijtihad dari tokoh-tokoh tertentu.
Maka selanjutnya, pesan konsepsional tentang keazalian al-Qur’an, kiranya lebih tepat jika dipahami secara metaforis. Bahwa pemeliharaan Allah terhadap al-Qur’an berarti pemeliharaannya untuk tetap ‘berperan’ dalam proses keterlibatan manusia dengan sejarah dan kemanusiaannya.

DAFTAR PUSTAKA
Shihab, M. Quraysh. “Membumikan “ al-Qur’an : Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung : Mizan, 1999.
Mulkhan, Abdul Munir. Teologi Kiri : Landasan Gerakan Membela Kaum Mustadl’afin. Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2002.
Hamka. Tasauf Modern. Jakarta : Pustaka Panjimas, 1983.
Harb, Ali. Relativitas Kebenaran Agama : Kritik dan Dialog, ter. Umar Bukhory dan Ghozi Mubarak. Yogyakarta : IRCiSoD, 2001.
Latief, Hilman. Nasr Hamid Abu Zaid : Kritik Teks Keagamaan. Yogyakarta : eLSAQ Press, 2003.

No comments:

Post a Comment