Friday, April 23, 2010

KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA DALAM MENGAWASI PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK



A. Gambaran Umum Ombudsman Republik Indonesia
1. Sejarah dan Latar Belakang Pembentukan Ombudsman Republik Indonesia
Upaya pembentukan lembaga Ombudsman di Indonesia oleh pemerintah dimulai ketika Presiden B.J. Habibie berkuasa, kemudian dilanjutkan oleh penggantinya, yakni K.H. Abdurrahman Wahid. Masa pemerintahan dapat disebut sebagai masa K.H. Abdurrahman Wahid dapat disebut sebagai tonggak sejarah pembentukan lembaga Ombudsman di Indonesia, sedangkan pada masa pemerintahan B.J. Habibie dapat disebut sebagai masa rintisan dalam pembentukan lembaga Ombudsman di Indonesia.
Lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan pada tahun 1998, menyebabkan keinginan untuk membentuk lembaga Ombudsman seolah-olah mendapatkan momentum. Pemerintah pada waktu itu nampak sadar akan perlunya lembaga Ombudsman di Indonesia menyusul adanya tuntutan masyarakat yang amat kuat untuk mewujudkan pemerintah yang bersih dan penyelenggaraan negara yang baik atau clean government dan good governance.
Setelah Presiden B.J. Habibie lenser, pemerintahan dilanjutkan oleh Gus Dur dan Mega saat itu harus menanggung politik dan sejarah masa lalu yang cukup berat. Korupsi tetap merajalela dan bahkan cenderung tanpa kendali. Penegak hukum juga mengalami kesulitan mewujudkan cita-cita reformasi hukum yang menjadi salah satu agenda reformasi. Masyarakat dan mahasiswa kembali melontarkan kritik atas ketidakmampuan pemerintah memberantas korupsi dan berbagai penyimpangan yang dilakukan penyelenggara negara. Pemerintah juga semakin kehilangan kewibawaan karena terus-menerus terlibat polemik kontroversial sehingga tidak sempat mengurusi kebutuhan dasar masyarakanya.
Dalam kondisi mendapat tekanan masyarakat yang menghendaki terjadinya perubahan menuju pemerintahan yang transparan, bersih dan bebas KKN, maka pemerintah saat itu berusaha melakukan beberapa perubahan sesuai aspirasi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Salah satunya adalah dengan membentuk sebuah lembaga pengawasan terhadap penyelenggara negara, bernama Komisi Ombudsman Nasional.
Pada awal Nopember 1999, Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid berinisiatif memanggil Jaksa Agung Marzuki Darusman untuk mendiskusikan tentang konsep pengawasan baru terhadap penyelenggara negara. Diskusi tersebut juga melibatkan calon ketua yang diusulkan Presiden yaitu Antonius Sujata (Jaksa bidang tindak pidana khsusus). Akhirnya pada tanggal 17 Nopember 1999 diadakan pertemuan dan menyepakati untuk membentuk sebuah lembaga pengawasan yang bersifat independen. Lembaga yang dimaksud itu dan disepakati dinamakan “ombudsman” dengan alasan, nama itu sudah dikenal secara internasional.
Tidak lama kemudian, Presiden K.H. Abdurrahman Wahid segera mengeluarkan Keputusan Presiden nomor 55 tahun 1999 tentang tim pengkajian pembentukan lembaga Ombudsman. Tim ini diketuai oleh Antonius Sujata. Menurut konsideran keputusan tersebut, latar belakang pemikiran perlunya dibentuk lembaga Ombudsman Indonesia adalah untuk lebih meningkatkan pemberian perlindungan terhadap hak-hak anggota masyarakat dari pelaku penyelenggara negara yang tidak sesuai dengan kewajiban hukumnya, dengan memberikan kesempatan kepada anggota masyarakat yang dirugikan untuk mengadu kepada suatu lembaga yang independen yang dikenal dengan nama Ombudsman.
Tugas utama yang dibebankan kepada tim pengkajian pembentukan lembaga Ombudsman adalah menyusun rancangan undang-undang tentang Ombudsman dan melakukan langkah-langkah persiapan serta penyebarluasan pemahaman mengenai lembaga Ombudsman.
Waktu yang diberikan untuk menyeleseikan tugas tersebut adalah 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Keputusan Presiden tersebut pada tanggal 8 Desember 1999. Namun sebelum tim pengkajian ini menyeleseikan tugasnya, dalam bulan Maret 2000, K.H. Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional, sekaligus mengangkat anggota Ombudsman sebanyak 8 orang yang diketuai oleh mantan ketua tim pengkajian pembentukan lembaga Ombudsman, Antonius Sujata, SH. Bersamaan dengan pembentukan lembaga Ombudsman tersebut, Kepres Nomor 55 tahun 1999 dinyatakan tidak berlaku.
Adapun susunan keanggotaan Komisi Ombudsman Nasional sebagaimana dilampirkan dalam kepres No. 44 tahun 2000 tersebut adalah: Ketua merangkap anggota: Antonius Sujata, SH.; Wakil Ketua merangkap anggota Prof. Dr. C. F. G. Sunaryati Hartono, SH.; anggota-anggota: 1. Prof. Dr. Bagir Manan, SH, MCL; 2. Teten Masduki; 3. Ir. Urip; 4. R.M. Surachman, SH; 5. Pradjoto, SH. MA; 6. KH. Masdar Mas’udi, MA.
Pada tanggal 20 Maret 2000, ketua, wakil ketua dan anggota Komisi Ombudsman Nasional dilantik Gus Dur di Istana negara. Saat itu Indonesia memasuki babak baru dalam sistem pengawasan.
Demikianlah maka sejak ditetapkannya Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 pada tanggal 10 Maret 2000 berdirilah lembaga Ombudsman Indonesia dengan dengan nama Komisi Ombudsman Nasional. Menurut Kepres Nomor 44 Tahun 2000, pembentukan lembaga Ombudsman di Indonesia dilatarbelakangi oleh tiga pemikiran dasar sebagaimana tertuang di dalam konsiderannya, yakni:
a. Bahwa pemberdayaan masyarakat melalui peranserta mereka melakukan pengawasan akan lebih menjamin peneyelenggaraan negara yang jujur, bersih, transparan, bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme;
b. Bahwa pemberdayaan pengawasan oleh masyarakat terhadap penyelenggaraan negara merupakan implementasi demokrasi yang perlu dikembangkan serta diaplikasikan agar penyalahgunaan kekuasaan, wewenang ataupun jabatan oleh aparatur dapat diminimalisasi;
c. Bahwa dalam penyelenggaraan negara khususnya penyelenggaraan pemerintahan memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap hak-hak anggota masyarakat oleh aparatur pemerintah termasuk lembaga peradilan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan.
Kemudian untuk lebih mengoptimalkan fungsi, tugas, dan wewenang komisi Ombudsman Nasional, perlu dibentuk Undang-undang tentang Ombudsman Republik Indonesia sebagai landasan hukum yang lebih jelas dan kuat. Hal ini sesuai pula dengan amanat ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor/MPR/2001 tentang rekomendasi arah kebijakan pemberantasan dan pencegahan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang salah satunya memerintahkan dibentuknya Ombudsman dengan Undang-undang. Akhirnya keinginan untuk mempunyai undang-undang tersebut terwujud pada tanggal 7 Oktober 2008 yaitu terbentuknya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia.
Setelah berlakunya Undang-Undang Ombudsman Republik Indonesia, maka Komisi Ombudsman Nasional berubah menjadi Ombudsman Republik Indonesia. Perubahan nama tersebut mengisyaratkan bahwa Ombudsman tidak lagi berbentuk Komisi Negara yang bersifat sementara, tapi merupakan lembaga negara yang permanen sebagaimana lembaga-lembaga negara yang lain, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainya.
Pengaturan Ombudsman dalam Undang-undang tidak hanya mengandung konsekuensi posisi politik kelembagaan, namun juga perluasan kewenangan dan cakupan kerja Ombudsman yang akan sampai di daerah-daerah. Dalam undang-undang ini dimungkinkan mendirikan kantor perwakilan Ombudsman di daerah Propinsi, Kabupaten/Kota. Dalam hal penanganan laporan juga terdapat perubahan yang fundamental karena Ombudsman diberi kewenangan besar dan memiliki kekuatan memaksa (subpoena power), rekomendasi yang bersifat mengikat, investigasi, serta sanksi pidana bagi yang mengahalang-halangi ombudsman dalam menangani laporan.
2. Dasar Hukum Ombudsman Republik Indonesia
a. Ketetapan MPR No: VIII/MPR/2001
Pada sidang tahunan tahun 2001 Majelis Permusyawaratan Rakyat telah menetapkan ketetapan MPR No: VII/MPR/2001 tentang rekomendasi arah kebijakan negara yang bersih dan bebas dari korupsi kolusi dan nepotisme. Pasal 2 ayat 6 pada ketetapan tersebut berbunyi:
Membentuk Undang-undang beserta peratuan pelaksanaannya untuk pencegahan korupsi yang muatannya meliputi:
a. Komisi pemberantasan tindak pidana korupsi;
b. Perlindungan saksi dan korban;
c. Kejahatan terorganisasi;
d. Kebebasan mendapatkan informasi;
e. Etika pemerintah;
f. Kejahatan pencurian uang;
g. Ombudsman.
b. Undang-undang No. 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (propernas)
Pada matriks program nasional pembentukan peraturan perundangan dicantumkan bahwa ditetapkannya undang-undang tentang Ombudsman merupakan indikator keberhasilan kinerja pemerintah.
c. Kepres No. 44 Tahun 2000 Tentang Komisi Ombudsman Nasional
Kepres No.44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional merupakan dasar hukum bagi operasionalisasi Ombudsman di Indonesia. Pada Kepres ini banyak pengaturan yang masih bersifat umum. Pada Kepres ini kewenangan Ombudsman masih sangat cterbatas sehingga ruang geraknya pun sangat sempit. Apalagi Komisi ini, hanya berada di Ibukota Jakarta padahal kewenangannya mencakup seluruh wilayah di Indonesia. Dari kepres No.44 Tahun 2000 ini komisi ombudsman menyiapkan sebuah konsep Rancangan Undang-Undang Ombudsman Nasional.
Pasal 2 menyatakan “Ombudsman Nasional adalah lembaga pengawasan masyarakat yang berasaskan pancasila dan bersifat mandiri, serta berwenang melakukan klarifikasi, monitoring dan pemeriksaan atas laporan masyarakat mengenai penyelenggaraan negara khususnya pelaksanaan oleh aparatur pemerintah termasuk lembaga peradilan terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat”
d. Pasal I UU RI No. 37 Tahun 2008
UU RI No. 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia merupakan dasar hukum yang paling kuat daripada sebelumnya. Dalam pasal I disebutkan:
“Ombudsman Republik Indonesia adalah lembaga negara yang mempunyai wewenang mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah”.
e. Pasal 35 ayat UU RI No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik
Dalam UU RI No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang disahkan pada tanggal 18 Juli 2009, menyatakan bahwa Ombudsman merupakan salah satu lembaga pengawas ekternal selain pengawasan masyarakat dan pengawasan DPR/DPRD yang berhak untuk melakukan pengawasan pelayanan publik. Hal ini termuat dalam pasal 35 ayat 3 UU RI No. 25 Tahun 2009: “pengawasan eksternal penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan melalui”:
a. pengawasan oleh masyarakat berupa laporan atau pengaduan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
b. pengawasan oleh ombudsman sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
c. pengawasan oleh dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan rakyat daerah propinsi, dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota.
f. Usulan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 oleh Komisi Konstitusi dengan menambahkan pasal 24 G yang berbunyi:
1. Ombudsman Republik Indonesia adalah ombudsman yang mandiri guna mengawasi penyelenggaraan pelayanan umum kepada masyarakat.
2. Susunan, kedudukan dan kewenangan Ombudsman Republik Indonesia diatur dengan Undang-undang.
3. Falsafah Ombudsman Republik Indonesia
Dalam menjalankan tugasnya Ombudsman Republik Indonesia selalu mendasarkan dirinya pada prinsip-prinsip yang dianutnya sehingga menjati jati diri yang melekat bagi setiap anggotanya.
Tujuh falsafah tersebut yaitu:
a. Saling menghargai
b. Melayani setiap pribadi dengan prinsip-prinsip kesopanan dan saling menghargai sebagai manusia sederajat.
c. Keteladanan
d. Menjadi teladan dan pelopor dalam prinsip keterbukaan, kesederajatan, tidak memihak, serta pelopor dalam pembaharuan dan selalu konsisten dalam keputusan.
e. Kesetaraan
f. Mempelopori adanya kesetaraan dan selalu membuka akses bagi setiap orang tanpa memandang status ekonomi, keluarga, bahasa, agama, kesukuan dan ras, termasuk juga tidak memandang dari segi kondisi fisik, jenis kelamin, umur ataupun status perkawinan.
g. Pemberdayaan Masyarakat
h. Mendorong dan membantu masyarakat yang menggunakan sarana publik dalam mencari pemecahan bagi setiap masalahnya.
i. Pembelajaran yang Berkesinambungan
j. Menjadi pelopor dan pendorong dalam hal pembelajaran yang berkesinambungan bagi setiap staf, pemerintah dan masyarakat.
k. Kerjasama
l. Selalu menggunakan prinsip-prinsip kerjasama, empati dan niat baik dalam setiap tugas.
m. Kerjasama tim
n. Mengkombinasikan perbedaan latar belakang dan pengalaman dalam mencapai satu tujuan dan komitmen untuk sukses.
4. Misi Ombudsman Republik Indonesia
Diantara misi ombudsman republik indonesia adalah:
a. Melalui peran serta masyarakat membantu menciptakan dan/atau mengembangkan kondisi yang kondusif dalam melaksanakan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme.
b. Meningkatkan perlindungan hak-hak masyarakat agar memperoleh pelayanan umum, keadilan dan kesejahteraan yang lebih baik.
c. Memprioritaskan pelayanan masyarakat dengan terus menerus menambah pengetahuan mengenai kebutuhan masyarakat dengan jalan mengadakan hubungan baik yang saling menghormati serta memberikan penyeleseian yang tidak memihak, menjaga rahasia pribadi serta cepat dan tepat.
d. Melakukan langkah untuk menindaklanjuti keluhan atau informasi mengenai terjadinya penyimpangan oleh penyelenggara negara dalam melaksanakan tugasnya maupun dalam pelayanan umum.
e. Melakukan koordinasi dan kerjasama dengan instansi pemerintah, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, para ahli, praktisi, organisasi profesi dll.
f. Memaksimalkan nilai tambah kepada masyarakat dengan terus menerus mensosialisasikan adanya ombudsman republik indonesia, termasuk memberikan informasi bagaimana keluhan ditindaklanjuti, cara bagaimana dapat mengajukan keluhan serta menganjurkan masyarakat untuk melakukannya.
g. Memastikan keberhasilan kerja melalui komitmen menyeluruh dengan standar prestasi kerja yang tinggi melalui menejemen terbuka dan memberikan training yang terus menerus untuk meningkatkan pengetahuan serta profesional tim asistensi dalam menangani/menindaklanjuti keluhan-keluhan. Ini semua dilakukan dengan integritas dan tanggung jawab yang tinggi.
5. Pedoman Dasar dan Etika Ombudsman Republik Indonesia
Dalam menjalankan tugasnya Ombudsman Republik Indonesia selalu mendasarkan dirinya pada prinsip-prinsip pedoman dasar dan etika Ombudsman yang dianutnya sehingga menjati jati diri yang melekat bagi setiap anggotanya.
Adapun pedoman dasar dan etika Ombudsman Republik Indonesia adalah:
a. Integritas
Bersifat mandiri, tidak memihak, adil, tulus dan penuh komitmen, menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan budi pekerti serta melaksanakan kewajiban agama dengan baik.
b. Pelayanan kepada masyarakat
Memberikan pelayanan kepada masyarakat secara cepat dan efektif agar mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai institusi publik yang benar-benar membantu peningkatan penyelenggaraan kepentingan masyarakat sehari-hari.
c. Saling menghargai
Kesejajaran penghargaan dalam perlakuan, baik kepada masyarakat maupun antara sesama anggota/staf ombudsman.
d. Kepemimpinan
Menjadi teladan dan panutan dalam keadilan, persamaan hak, tranparansi, inovasi, dan konsistensi. Persamaan hak, memberikan perlakuan yang sama dalam pelayanan kepada masyarakat dengan tidak membedakan umr, jenis kelamin, status perkawinan, kondisi fisik ataupun mental, suku, etnik, agama, bahasa maupun status sosial keluarga.
e. Sosialisasi tugas ombudsman
Menganjurkan dan membantu masyarakat memanfaatkan pelayanan secara optimal untuk penyeleseian persoalan.
f. Pendidikan berkesinambungan
Melaksanakan pelatihan serta pendidikan terus-menerus untuk meningkatkan ketrampilan.
g. Kerjasama
Melaksanakan kerja sama yang baik dengan semua pihak, memiliki ketegasan dan saling menghargai dalam bertindak untuk mendapatkan hasil yang efektif dalam menangani keluhan masyarakat.
h. Bekerja secara kelompok
Penggabungan kemampuan serta pengalaman yang berbeda-beda dari anggota tim yang mempunyai tujuan yang sama serta komitmen demi keberhasilan ombudsman secara keseluruhan.
i. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat
Menyebarluaskan informasi hukum yang diterima dan diolah oleh Ombudsman kepada lembaga negara, lembaga non pemerintah, masyarakat maupun perseorangan.
j. Profesional
Memiliki tingkat kemampuan intelektual yang baik dalam melaksanakan tugas kewajibannya sehingga kinerja dapat dipertanggung jawabkan baik secara hukum maupun ilmiah.
k. Disiplin
Memiliki loyalitas dan komitmen tinggi terhadap tugas dan kewajiban yang menjadi tanggungjawabnya.

6. Tujuan Ombudsman Republik Indonesia
Dalam pasal 4 UU RI No. 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia dijelaskan tentang tujuan Ombudsman:
a. Mewujudkan negara hukum yang demokratis, adil, dan sejahtera;
b. Mendorong penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang efektif dan efesien, jujur, terbuka, bersih, serta bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme;
c. Meningkatkan mutu pelayanan negara di segala bidang agar setiap warga negara dan penduduk memperoleh keadilan, rasa aman, dan kesejahteraan yang semakin baik;
d. Membantu menciptakan dan meningkatkan upaya untuk pemberantasan dan pencegahan praktek-praktek maladministrasi, diskriminasi, kolusi, kolusi, serta nepotisme;
e. Meningkatkan budaya hukum nasional, kesadaran hukum masyarakat, dan supremasi hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan.

B. Kedudukan dan Kewenangan Ombudsman Republik Indonesia
1. Keberadaan dan kewenangan Ombudsman Republik Indonesia Menurut UU RI No. 37 Tahun 2008
Keberadaan Ombudsman sejak berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia No. 37 Tahun 2008 adalah sebagai lembaga negara bukan sebagai komisi negara lagi seperti sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa ombudsman adalah lembaga negara yang permanen sebagaiman lembaga-lembaga negara yang lain.
Dalam UU RI No. 37 pasal 2 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia menyatakan:
“Ombudsman merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga negara dan instansi pemerintahan lainnya serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya”.
Lembaga Negara adalah merupakan lembaga-lembaga atau organ publik yang menjalankan pemerintahan dan tidak berada di bawah kendali Presiden. Bersifat “mandiri” secara etimologis berarti menunjukkan kemampuan berdiri sendiri. Ini menjelaskan bahwa istilah mandiri menunjuk pada tidak adanya pengaruh dari luar atau bebas dari campur tangan kekuasaan lain atau ketidakbergantungan suatu pihak kepada pihak lain.
Menurut Jimly Asshidiqie, bahwa independensi lembaga-lembaga negara sangat diperlukan untuk kepentingan menjamin pembatasan kekuasaan dan demokratisasi yang lebih efektif. Kemudian beliau menyebutkan lembaga-lembaga yang sekarang ini menikmati kedudukan independen, dintaranya pada tingkatan pertama, yaitu Organisasi Tentata Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara (POLRI), dan Bank Indonesia sebagai bank central. Pada tingkatan kedua juga muncul lembaga-lembaga khusus seperti Komisi Nasional dan Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Ombudsman (sekarang Ombudsman Republik Indonesia), Komisi Persaingan Usaha Pemberantasan Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Kebenaran dan Rekonsialisasi (KKR), dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Keberadaan Ombudsman di Indonesia memang sangat dibutuhkan masyarakat dewasa ini seiring dengan pertambahan penduduk dan beragamnya masalah yang dialami oleh masyarakat dalam mendapatkan haknya sebagai warga negara. Sehingga masyarakat dapat melaporkan keluhan yang dialaminya dengan cepat kepada lembaga yang independen dan dengan tanpa biaya yaitu Ombudsman.
Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, ombudsman berwenang:
a. meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis kepada pelapor, terlapor, atau pihak lain yang terkait mengenai laporan yang disampaikan kepada ombudsman;
b. memeriksa keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang ada pada pelapor ataupun terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu laporan;
c. meminta klarifikasi dan/atau salinan atau fotokopi dokumen yang diperlukan dari instansi mana pun untuk pemeriksaan laporan dari instansi terlapor;
d. melakukan pemanggilan terhadap pelapor, terlapor, dan pihak lain yang terkait dengan laporan;
e. menyeleseikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak;
f. membuat rekomendasi mengenai penyeleseian laporan, termasuk rekomendasi untuk membayar ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan;
g. demi kepentingan umum mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan rekomendasi.
Selain itu, dalam ayat 2 pasal 8 UU RI No.37 Tahun 2008, juga disebutkan, wewenang Ombudsman adalah:
a. menyampaikan saran kepada presiden, kepala daerah, atau pimpinan penyelenggara negara lainnya guna perbaikan dan penyempurnaan organisasi dan/atau prosedur pelayanan publik;
b. menyampaikan saran kepada dewan perwakilan rakyat dan/atau presiden, dewan perwakilan rakyat daeah dan/atau kepala daerah agar terhadap undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya diadakan perubahan dalam rangka mencegah maladministrasi.

2. Kedudukan dan Kewenangan Ombudsman Republik Indonesia dengan Pengawasan di Indonesia
Apabila memperhatikan fungsi Ombudsman sebagaiman tertuang di dalam UU RI No. 37 tahun 2008 pasal 6, maka Ombudsman sesungguhnya merupakan salah satu unsur pengawasan dalam sistem pengawasan di Indonesia, yakni bentuk pengawasan lembaga negara yang bersifat mandiri dan tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga negara dan instansi pemerintahan lainnya, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya.
Dalam UU RI No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang disahkan pada tanggal 18 Juli 2009, menyatakan bahwa Ombudsman merupakan salah satu lembaga pengawas ekternal selain pengawasan masyarakat dan pengawasan DPR/DPRD yang berhak untuk melakukan pengawasan pelayanan publik. Hal ini termuat dalam pasal 35 ayat 3 UU RI No. 25 Tahun 2009: “pengawasan eksternal penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan melalui”:
d. pengawasan oleh masyarakat berupa laporan atau pengaduan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
e. pengawasan oleh ombudsman sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
f. pengawasan oleh dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan rakyat daerah propinsi, dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota.
Keberadaan Ombudsman di Indonesia jika dikaitkan dengan lembaga pengawasan yang sudah ada di indonesia adalah merupakan lembaga pengawas yang baru dibandingkan lembaga-lembaga pengawas yang sudah dibentuk sebelumnya. Akan tetapi dari setiap lembaga pengawas yang ada pasti ada perbedaannya dalam hal tugas dan wewenangnya maupun posisinya.
Selama ini kita memang sudah memiliki lembaga pengawas baik yang bersifat struktural maupun fungsional. Bahkan terdapat lembaga pengawas yang secara eksplisit dicantumkan dalam undang-undang dasar yaitu Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan dan ataupun Bank Indonesia. Selain itu juga terdapat organisasi non pemerintah ataupun Lembaga Swadaya Masyarakat yang sekarang ini banyak tumbuh serta turut beraktifitas melakukan pengawasan atas pelaksanaan penyelenggaraan negara.
Berbagai lembaga negara, aparatur pengawas struktural, pengawas fungsional serta organisasi pemerintah tersebut memiliki catatan sebagai berikut:
1. Lembaga Pengawas Struktural sebagaimana selama ini dilakukan oleh Inspektorat Jenderal jelas tidak mandiri karena secara organisatoris merupakan bagian dari kelembagaan/departemen terkait. Dalam menghadapi ataupun menindaklanjuti laporan sangat tergantung oleh atasan. Lagi pula pengawasan yang dilakukan bersifat intern artinya kewenangan yang dimiliki dalam melakukan pengawasan hanya mencakup urusan institusi itu sendiri.
2. Lembaga Pengawas Fungsional seperti BPK (Badan Pengawas Keuangan) dan BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan), meskipun tidak bersifat intern, namun substansi/sasaran pengawasan terbatas pada aspek tertentu terutama maslah keuangan. Lagi pula aparat pengawas fungsional pada umumnya tidak menangani keluhan-keluhan yang bersifat individual, mereka melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan secara rutin baik yang merupakan anggaran rutin maupun pembangunan.
3. Lembaga pengawas yang secara ekplisit dicantumkan dalam konstitusi, yaitu DPR/DPRD, mereka melakukan pengawasan terhadap kebijakan umum namun pada satu sisi substansi yang diawasi terlalu luas dan tentu saja bersifat politis. Karena memang secara kelembagaan dewan perwakilan rakyat merupakan lembaga politik serta mewakili kelompok- kelompok politik sehingga pengawasannya juga tidak terlepas dari kepentingan kelompok yang mereka wakili.
4. Pengawasan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat sekarang ini telah menjadi trend dan berkembang pesat. Namun karena sifatnya swasta dan kurang terfokus maka lebih banyak ditanggapi acuh tak acuh. Terlebih lagi pengawasan yang dilakukan sering kurang data dan lebih mengarah pada publikasi sehingga faktor akurasi dan keseimbangan fakta perlu labih memperoleh perhatian.
Memperhatikan kenyataan-kenyataan di atas, maka ternyata masih terdapat celah-celah yang secara mendasar tidak/belum merupakan sasaran pengawasan. Dari aspek kelembagaan juga belum ada prosedur yang dapat menjembatani antara mekanisme yang bersifat kaku sebagai akhibat sistem struktural hierarkis di satu pihak dengan mekanisme lentur/pendek dari suatu organisasi yang tidak struktural hierarkis. Dengan demikian diperlukan lembaga Ombudsman sebagai alternatif agar bisa menjadi jalan tengah bagi kepentingan pengembangan sistem non struktural hierarkis serta kepentingan pengembangan sistem non struktural, namun pada sisi lain mampu menampung seluruh aspirasi warga masyarakat tanpa harus melewati sistem prosedur atau mekanisme yang berliku-liku.
Keberhasilan suatu pengawasan sangat ditentukan oleh prosedur ataupun mekanisme yang digunakan, apabila proses pengawasan berbelit-belit melalui liku-liku yang panjang maka pelaksanaan pengawasan akan beralih dari masalah substansional ke masalah prosedural. Padahal inti persoalan pokok adalah penyimpangan dalam pelayanan umum.

No comments:

Post a Comment