Saturday, April 24, 2010

METODE BIL RA'YI




A. Latar belakang masalah
Al-Qur’an al-Karim dalam menjelaskan ayat-ayatnya ada yang dikemukakan secara terperinci, seperti yang berhubungan dengan masalah shalat dan lain sebagainya, dan ada pula yang dikemukakan secara umum dan garis besarnya saja. Namun, penjelasan secara umum dan garis-garis besarnya ini, ada yang diperinci dan dijelaskan oleh hadis-hadis Nabi dan ada yang dijelaskan oleh ijtihad orang Islam (mufassir) .
Oleh karena itu dalam pembahasan metode tahlily terbagi menjadi dua bentuk bagian :
1). Tahlily bi Alra'yu
2). Tahlily bi Alma'tsur
sedangkan Kajian dalam makalah metodologi penelitian ilmu tafsir kali ini adalah metode tahlily yang hanya difokuskan pada bentuk pemikiran (Al ra'yu). Mengenai penjelasan tentang metode tafsir tahlily bi al ma'tsur akan dipresentasikan oleh pemakalah yang lain.






B. Rumusan masalah.
1. Bagaimana Sejarah singkat bentuk penafsiran pemikiran (Al-ra’yu)
2. Bagaimana pengertian tafsir Tahlily bi Al ra'yu
3. Bagaimana metode Tahlily bi Alra'yu ketika dipakai dalam menafsirkan Al Quran?.
4. Bagaimana kelebihan dan kekurangan metode Tahlily bi Alra'yu
C. Tujuan penelitian.
1. Untuk mengetahui Sejarah singkat bentuk penafsiran pemikiran (Al-ra’yu)
2. Untuk Mengetahui pengertian tafsir Tahlily bi Al ra'yu
3. Untuk Mengetahui metode Tahlily bi Alra'yu ketika dipakai dalam menafsirkan Al Quran?.
4. Untuk Mengetahui kelebihan dan kekurangan metode Tahlily bi Alra'yu












BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah singkat bentuk penafsiran pemikiran (Al-ra’yu)
Setelah berakhir masa salaf sekitar abad ketiga Hijriah, dan peradaban islam semakin maju dan berkembang, maka lahirlah madzhab dan aliran dikalangan umat. Masing-masing golongan mengklaim atau berusaha meyakinkan pengikutnya dalam mengembangkan faham mereka. Untuk mencapai maksud itu, mereka mencoba untuk mencari ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits Nabi saw, lalu mereka tafsirkan sesuai dengan keyakinan yang mereka anut.
Ketika inilah mulai berkembang tafsir dengan bentuk Al-Ra’yu( tafsir melelui pemikiran atau ijtihad ). Kaum Fuqaha (ahli Fiqi )menafsirkannya dari sudut hokum fiqih seperti Al-Jashash, Al-Qurthubi, dan lain-lain. Kaum teolog menafsirkan dari sudut pemahaman theologis seperti Al-Kasysyaf, karangan Al-Zamakhsyari; dan juga kaum sufi menafsirkan Al-Quran menurut pemahaman dan pengalaman batin mereka seperti tafsir Al-Quranil Adhim, oleh Al-Tustari; Futuhat Makkiyyat oleh ibn Araby;dan lain-lain. Setelah itu dalam bidang bahasa pun lahir tafsir, seperti Al-Bahr Al-Muhid oleh Hayyan; dan lain-lain; dan lain-lain pendek kata, berbagai corak tafsir Al-Ray’ muncul dimasa ulama-ulama mutaa’khirin; sehingga diabad moderen lahir menurut tinjauan sosiologis dan tafsir Al-Manar dan Al-Jawahir. Melihat perkembangan tafsir Al-ray’yang demikian pesat maka tepatlah apa yang yang dikatakan oleh Manna’al Qaththan bahwa tafsir Al-ray’mengalahkan perkembangan tafsir bi Al-Ma’tsur .
Dalam tafsir ini seorang Al-Quran pada berpegang pada Ijtihadnya, bukan berpegang pada atsar yang diambil para sahabat. Dalam tafsir ini juga pertimbangan bahsa arab dan ilmu-ilmu yang dibutuhkan secara pasti harus dikuasai oleh orang yang hendak menafsirkan Al-Quran. Meskipun tafsir Al-ray’ namun dalm menerimanya para ulama terbagi menjadi dua;ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak membolehkan. Tapi setelah diteliti, ternyata kedua pendapat yang bertentangan itu hanya bersifat lafdzi (redaksional ) maksutnya kedua belah pihak sama-sama mencelah penafsiran berdasarkan ray’ (pemikiran )semata tanpa mengindahkan kaidah-kaidah dan cerita-cerita yang berlaku. Penafsiran serupa inilah yang diharamkan oleh Ibn Taimiyyah. Bahkan Imam Ibn Hambal menyatakan sebagai tidak berdasar
Sebaliknya, keduanya sepakat membolehkan penafsiran Al-Quran dengan sunnah Rasul serta kaida Mu’tabarah (diakui sah secara bersama )
B. Bentuk Tafsir Tahlily bil ra’yu
Istilah ra’yun dekat ma’nanya dengan ijtihad (kebebasan penggunaan akal ) yang didasarkan atas prinsip-prinsip yang benar, menggunakan akal yang sehat dan persyaratan yang ketat. Wajib bagi seorang munfasir memperhatikan secara teliti tentang subyek penafsiran kitab suci. Lebih-lebih lagi penafsiran itu terkait dengan Al-ra’yu (pemikiran )atau Al-Hawa (keinginan) atau penafsiran menurut keinginan diri sendiri (hawa nafsu ) kesukaan dan kecenderungan-kecenderungan lain. Al-Qurtubi menyatakan barang siapa mengucapkan sesuatu berdasarkan pikiran dan kesannya tentang Al-quran atau memberikan isyarat-isyarat dengan sengaja tentang prinsip dasar , ialah patut dicap dengan kesalahan dan penyimpangan , dan kepribadian orang tersebut tidak dapat dipercaya. Perlu dicatat, bahwa hadits yang menyatakan ; barang siapa sengaja mendustakan kepadaku maka merekalah tempat baginya ; barang siapa menfsirkan Al-Quran berdasarkan pemikirannya , maka ia akan menempati neraka ( HR.Turmudzi ); dan barang siapa yang menafsirkan Al-Quran dengan pemikirannya semat maka ia telah melakukan kesalahan. Hadis-hadis diatas dapat diinterpretasikan dengan dua cara; barang siapa menafsirkan Al-Quran dengan tidak mengetahui para sahabat dan para tabi’in , maka ia menjadi musuh Allah. Kedua, barang siapa menyatakan sesuatu yang berlawanan denga Al-Quran denga sengaja dan menggangapnya sebagai suatu kebenaran, maka tempatnya adalah apai neraka. Al-Qurthubi cenderung kepada pendapat yang kedua , dimana ia mengatakan bahhwa , pendapat itu lebih kuat dari pada pendapat yang pertama, dan ma’nanya lebih akurat kemudian ia melanjutkan, mengenai hadits tersebut, sebagian ulama mengemukakan pengertiaannya mengacu pada keinginan hawa nafsu. Mengucapkan sesuatu sesuai dengan hawa nafsunya dan tidak memperhatikan pendapat para ulama pendahulunya, maka penafsiran semacam ini termaksut penafsiran yang keliru
yang lurus, yang harus dipergunakan oleh setiap orang yang hendak menafsirkan Al-Quran. Metode tafsir Tahlilly bil ra’yu ini adalah metode ijtihadi yang dibangun diatas dasar-dasar yang benar sesuai dengan kaidah-kaidah penafsiran yang berlaku yang ditetapkan oleh para ulama dan metode ini ada yang diterima dan ada pula yang ditolak. Tafsir semacam ini bias diterima sepanjang penafsiranya memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Memiliki I’tikad yang benar dan mematuhi ajaran agama islam
b. Mempunyai tujuan yang benar artinya seorang mufasir dengan karya tafsirnya harus semata-mata bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah bukkan untuk tujuan yang lain seperti untuk mendapatkan sanjungan dan pujian
c. Seorang penafsir harus berpegang teguh pada dalil naqli dari nabi, sahabat, dan seseorang dan hidup sezaman dengan mereka , serta harus menghindari segala sesuatunya tergolong bid’ah.
d. Seorang penafsir harus menguasai ilmu-ilmu yang semestinya diperlukan oleh penafsir sperti bahasa Arab . kemudian penafsir harus menjauhi perkara-perkara sebagai berikut:
1. Menjauhi sikap terlalu berani menduga-duga kehendak Allah didalam kalam-Nya tanpa memiliki persyaratan sebagai seorang penfsir.
2. Memaksa diri memahami sesuatu yang hanya wewenang Allah untuk mengetahuinya .
3. Menghindari dorongan dan hawa nafsu.
4. Menghindari penafsiran sesorang tanpa alas an megklaim bahwa itulah satu-satunya yang dimaksut oleh Allah .
C. Tafsir Tahlily
Tafsir Tahlily merupakan sebuah metode penafsiran yang bermaksud menjelaskan dan meneliti kandungan ayat-ayat Al-Quran dari seluruh aspeknya dalam mentingkap ma’na yang terkandung dalam sebuah ayat yang diteliti mulai dari uraian kosa kata dan ma’na kalimat dari riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi. Didalam tafsirnya, penafsir mengikuti runtutan ayat sebagai mana yang telah tersusun dalam mushaf Al-Quran . Penafsir memulai tafsirannya atau uraianya dengan mengemukakan arti kosa kata diikuti mengenai ma’na gelobal ayat. Ia juga mengemikakan munasabah( korelasi ) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksut ayat-ayat tersebut satu sama lainaya. Begitu pula, penafsir juga membehas asbab nuzul ( latar belakang turunnya ayat ) dan dalil-dalil yang berasal dari Rasul, sahabat, atau para tabi’in yang kadang kadang tercampur dengan pendapat para mufasir itu sendiri dan diwarnai oleh latarbelakang pendapatnya, dan sering pula bercampur dengan pembahasan kebahasaan dan yang lainya yang dipandang dapat membantu dalam memahami nash-nash tersebut. Para penafsir tahlily ini terlalu bertele-tele dengan uraian panjang lebar dan sebaliknya, adapula yang sederhana dan ringkas.

Adapun contoh penafsiran dan penjelasan menggunakan metode tahliliy bil Ra’yu(pemikiran) dapat digambarkan sebagai berikut.
Artinya : “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah[83]. Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui”. ( Al baqarah ; 115)
[83] Disitulah wajah Allah maksudnya; kekuasaan Allah meliputi seluruh alam; sebab itu di mana saja manusia berada, Allah mengetahui perbuatannya, Karena ia selalu berhadapan dengan Allah.
Maksutnya ( Walillahi Al-Masyriku wa Al-Maghrib ) adalah timur dan barat, dan seluruh penjuruh bumi, semuanya kepunyaan Allah, dia yang memiliki dan mengusai-Nya ; ( Fa’ainama Tuwallu )maka kearah mana pun kamu menghadap yakni memalingkan kearah kiblat, sesuai maksut firman Allah Ta’alah sebagai berikut :”niscaya (disana ada Allah )artinya ditempat itu ada Allah, yaitu yaitu tempat yang disengiNya dan yang diperintahkan-Nya (kamu) untuk menghadap-Nya (disitu).apabila kamu terhalang shalat diMasjid Baitul Maqdis, (maka jangan khawatir )sebab seluruh permukaan bumi telah kujadikan masjid tempat sembahyang bagimu. Dari itu, kamu boleh sembahyang ditempat manapun saja dimuka bumi ini, dan silahkan menghadap kearah mana saja yang dapat kamu lakukan ditempat itu; tidak terikat pada masjid tertentu dan tidak pula yang lain ; demikian pula tidak terikat dengan lokasi manapun (hal ini karena Allah maha lapang dan maha luas )rahmat-Nya. Dia inggin member kelonggaran kepada hamba-hamba-Nya, ( lagi maha tahu )tentang kemaslahatan dan kebutuhan mereka (penafsiran ini sesuai dengan latar belakang turunya ayat.
Menurut ibn Umar, ayat ini berkenaan dengan shalatnya orang musyafir diatas kendaraan ia menghadap kearah manapun arah kendaraanya menghadap. (tapi) kaum (kelompok) lalu mereka sholat kearah yang berbeda-beda ( sesuai keyakinan masing-masing), setelah pagi hariternyata mereka keliru kearah kiblat, lantas meraka menyampaikan peristiwa itu kepada Rasul ( maka turunlah ayat itu). Ada yang berpendapat kebolehan menghadap kemana arah mana saja itu adalah dalam masalah doa, bukan dalam shalat. Al-Hasanah membaca ayat itu ( Fa’ainama tuwallu )dengan member harokat pada huruf fat kha pada huruf (tha) sehingga bacaan menjadi (tawallaw )karena menurutnya kata itu berasal dari kata ( tawallaw ), yang berarti “ kearah mana saja kamu menghadap kiblat “. Tanpa perlu pengamatan yang sangat mendalam Zamakhsyari memulai penafsirannya dengan mengemukakan pemikiran rasionalnya. Kemudian penafsiran itu didukung dengan firman Allah, setelah itu baru mengemukakan riwayat atau pendapat para ulama. Ini berate bahwa Zamakhsyari oleh riwayat dengan kata yang lain, kalau ada riwayat yang menjelaskan hal itu, maka dipakainya, tetapi tidak ada riwayat gtersebut, dia tetap melakukan penafsiran. Sehingga, didalam tafsir bil ra’yu yang menggunakan metode analitis Ini para mufasir relative memperoleh kemudahan atas kebebasan, sehingga mereka agak lebih otonom dalam berkreasi dalam memberikan interpretasi terhadap ayat-ayat Al-Quran selama masih dalam batas-batsa yang diizinkan oleh Syara’ dan kaidah kaidah penfsiran yang Mu’tabar. Itulah sala satu tafsir dalam bentuk Al-Ra’yu dengan metode analitis dapat melahirkan corak penafsiran yang beragam sekali sperti FIQI, Falsafi, sufi, ilmi, dan lain sebagainya sebagaimana telah disebutkan diawal. Kebebasan seperti itu sulit sekali diterapkandidalam metode ijmali ( gelobal ) sekalip[un bentuknya Al-Ra’yu. Dikarenakan ada kebebasan seperti itulah, maka tafsir bil Ra’yu berkembang jauh lebih pesat meninggalkan tafsir bil ma’tsur, sebagaimana diakui oleh ulama Tafsir seperti Manna’ Al Qaththan. Dengan membandingkan kedua penafsiran itu, bahwa tampak denga jelas perbedaan yang nyata. Meskipun kedua duanya menggunakan metode yang sama, tetapi dikarenakan yang pertama menggunakan metode bil ma’tsur, maka pemikiran munfasir tidak tampak didalamnya, sebaliknya pada penafsiran yang kedua menggunakan bentuk Ra’yu sebab pemikiran atau pendapat mufasir Yang lebih dominan.
Dengan demikian, bahwa kedua bentuk penafsiran itu tidak perna mengenyampingkan riwayat, tetapi keduanya memakainya. Artinya, riwayat bagi kedua bentuk penafsiran itu tetap diperlukan, hanya fungsinya berbeda, pada bil ma’tsur, unsure riwayat dijadikan sebagai pjiakan titik tolak serta subyek penafsiran; sedang Ra’yu riwayat hanya difungsikan sebagai legetimasi untuk mendukung penafsiran yang diberikan.
Dan perlu diingat bahwa yang menjadi ciri dalam metode analitis ini bukan manafsirikan Al-Quran dari awal mushaf sampai akhirnya. Melainkan terletak pada pembahasan dan Analisisnya, Artinya selama pembahasan tidak mengikuti pola perbandingan seperti dalam komparatif atau pola topical dalam metode tematik, dan tidak pola global dalam metode Ijmali, peanfsiran tersebut dapat digolongkan dalam tafsir yang menggunakan metode analitis ( tahlily ) sekalipun uraianya tidak mencakup keseluruhan mushaf mulai dari surat Alfatiha sampai dengan surat An-Nash seperti dalam tafsir Al Manar, karya monumental Rasyid Ridah. Walaupun tafsir ini belum menafsirkan Al-Quran sampai akhir mushaf, kitab tersebut tetap bias dikategorikan kedalam tafsir analitis ( tahlily ) . Jadi tampak dengan jelas bahwa perbedaan tafsir analits denagan lainya, bahwa tafsir analitis adalah melebar tapi mendalam sedang yang lainnya diantaranya adalah metode tematik tidak melebar tetapi mendalam, sehingga dibahas tuntas semua aspek yang berhubungan dengan topic yang telah ditetapkan. Dikarenakan perbedaan pola serupa itu, maka tafsir analitis tidak menuntaskan permaslahan, melainkan sesuai dengan kapasitas yang ditafsirkan. Bahkan kadang-kadang kontradiktif dengan pemahaman ayat-ayat yang lainnya. Inilah yang membuat petunjuk Al-Quran menjadi parsial yang menjadi sala satu kelemahan tafsir ini.

D. Kelebihan dan Kekurangan Metode Analitis
Sebagaimana metode-metode yang lain, metode analitis juga mempunyai kelebihan dan kekuirangan.
1. Kelebihan
a. Metode analitis mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Metode ini dapat digunakan oleh mufasir dalam dua bentuk: bil Al ma’tsur dan bi Al Ra’yu sedangkan bi Al Ra’yu dapat lagi dikembangkan dalam berbagai corak penafsiran sesuai dengan keahlian masing-masing mufasir. Kelebihan kelebihan yang tak dijumpai pada metode lain diluar metode analitis ini. Denaga demikian, metode ini dapat menampung berabagai ide dan gagasan dalam upaya menafsirkan Al quran .
b. Memuat berbagai ide
Telah dikemukakan diawal sebelumnya bahwa tafsir dengan metode analitis ini relative memberikan kesempatan yang luas kepada munfasir untuk mencurakan ide-ide dan gagasan yang ada dalam benak meraka dalam menafsirkan Al Quran.
2. Kekurangan
c. Menjadikan petunjuk Al-Quran parsial
Seperti halnya metode global, metode analitis juga dapat membuay petunjuk Al Quran parsial atau terpecah-pecah, sehingga seakan-akan Al Quran memberikan pedoman tidak utuh dan tidak konsisten karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda-beda dari penafsiran yang diberikan oleh ayat lainya yang sama dengannya. Perbedaan tersebut terjadi karena kurang diperhatikan ayat-ayat lain yang mirip atau saama dengannya.
d. Melahirkan penafsiran yang subyektif
Metode analitis, sebagai mana telah disebut dimuka, memberikan peluang yang luas sekali kepada mufasir untuk mengemukakan ide-ide dan pemikirannya. Sehingga kadang-kadang mufasir tidak sadar bahwa ia telah menafsirkan Al-Quran secara subyektif, dan tidak menutup kemungkinan ada pula munfasir yang menafsirkan ayat Al quran menurut hawa nafsunya .













BAB III
PENUTUP
Metode tafsir Tahlilly bil ra’yu ini adalah metode ijtihadi yang dibangun diatas dasar-dasar yang benar sesuai dengan kaidah-kaidah penafsiran yang berlaku yang ditetapkan oleh para ulama’ Dengan metode analitis ini relative memberikan kesempatan yang luas kepada munfasir untuk mencurakan ide-ide dan gagasan yang ada dalam benak meraka dalam menafsirkan Al Quran. Sehingga muncullah corak penafsiran yang beragam sekali sperti fiqih, Falsafi, sufi, ilmi dan lain sebagainya.














DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H, Djalal Abdul H.A. "Ulumul Quran", Dunia Ilmu,1999..
Baidan.Nashruddin, "Wawasan Ilmu Tafsir", Pustaka Pelajar, 2005
-----------------------.,"Metodologi Penafsiran Alquran", Pustaka Pelajar offset. 1998
-----------------------. Metode Penafsiran Al-Quran (mengkaji kritis redaksi yang mirip). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.. 1998.
Al Quran dan terjemah-Nya, Departemen Agama Republik Indonesia, 1993, 27.
Abd. Al-Hayy al Farmawi, ,"Metode tafsir Maudhuiy". Rajawali Pers, Jakarta; 1994














No comments:

Post a Comment