Monday, April 26, 2010

NIKAH

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dimensi kehidupan setiap manusia dalam strata sosialnya terdapat sisi kecenderungan psikologis yang secara otomatis (thobi'i) melekat pada jati dirinya, sehingga secara fitrah dasar yang dimiliki sebagai makhuk ciptaan, tertanam sifat yang memberikan motivasi pada dirinya untuk berinteraksi dengan sesama manusia.
Tumbuhnya rasa ketertarikan dengan lawan jenis merupakan manifestasi dari suatu realitas peradaban sebagai konsekuensi dari anugrah fitrah manusiawi yang ia miliki serta merupakan bagian hukum alam yang tidak bisa dibantah lagi keberadaannya.
Dalam ideologi islam, Al Qur'an memiliki peranan sentral dan tidak dapat diabaikan dalam membentuk peradaban manusia serta standart batasan-batasan disegala struktur kehidupan yang ada didalamnya baik segi sosial, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Salah satu dimensi di al Qur'an, secara makro telah merumuskan dan mengkristalkan konsep ideologi hubungan antar manusia sesuai dengan pembawa fitrahnya, maka dapat dipastikan bahwa dalam islam menolak adanya ajaran kerahiban (tidak menikah) separti yang disebutkan dalam surat al Hadid ayat 27:
Artinya : Dan mereka mengada adakan rahbaniyah padahal Kami tidak mewajibkannya kepada meeka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhoan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya.
Al Qur'an memposisikan pernikahan sebagai sesuatu yang sakral dimana didalamnya terkandung nilai-nilai vertikal maupun horisontal. Hal ini merupakan upaya sistematis untuk menciptakan kehidupan manusia yang beradab dimuka bumi ini dan jauh dari praktek kebinatangan.
Sebagai legalitasnya Al Qur'an telah memberikan ligitimasi lembaga pernikahan secara tegas dalam surat an Nisa ayat pertama :
Artinya : Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan0mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya dan daripada keduanya Allah memperkembang biankkan laki-laki dan perempuan yang banyak.
Dalam pelaksanaannya terkadang terjadi pekawinan antar agama yang banyak terjadi di masyarakat Indonesia, terutama dikalangan "selebritis" kita yang "gemar" menikah dengan laki-laki yang notabene tidak seiman atau beda agama. Hal ini biasanya bersumber pada keluarga itu sendiri dan karena hanya melihat dari segi materi atau dari paras wajah saja.
Perkawinan yang demikian tentu akan menimbulkan suatu pertanyaan seperti tersebut di atas. Selanjutnya bagaimana hukum Islam mengatur perkawinan antara dua insan yang berbeda agama.
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana hukumnya wanita Muslim kawin dengan laki-laki non Muslim?
b. Bagaimana hukumnya jika laki-laki Muslim kawin dengan wanita non Muslim (musyrik atau ahli kitab)?
C. Tujuan
a. Untuk mengetahui hukum dari perkawinan antara wanita Muslim dengan laki-laki non Muslim.
b. Untuk mengetahui hukum perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita non Muslim.
c. Bagaimana kedudukan hukum dalam perkawinan Campuran ?
D. Manfaat
Setelah penulis menentukan tujuan, maka dapat diperoleh manfaatnya. Sebagai wacana untuk menambah ilmu pengetahuan tentang boleh dan tidaknya perkawinan beda agama.

BAB II
Pembahasan
A. Definisi Nikah
Nikah secara etimologi berarti pengumpulan dan penghimpunan atau bisa dikatakan suatu ungkapan tentang perbuatan persetubuhan dan sekaligus akad, sedang secara terminologi syari'ah, nikah didefinisikan sebagai akad tazwij, yakni suatu ikatan khusus yang memperbolehkan seorang lelaki melakukan istimta' (bercumbu) dengan perempuan dengan cara melakukan hubungan sex.
Dalam pengertian yang transparan, nikah bisa didefinisikan sebagai suatu ikatan perjanjian yang secara lebih khusus legalitasnya dibentuk oleh syari' (Allah dan Rasuln-Nya) dengan tujuan supaya mempelai lelaki mendapatkan hak kepemilikan terhadap mempelai wanita dalam istimta', sedang mempelai wanita memperoleh izin istimta' dengan mempelai lelaki. Maka konsekuansi kelangsungan dari akad nikah bila dihubungkan pada laki-laki dapat memberikan hak kepemilikan yang secara khusus pada wanita yang dinikahinya, dimana tidak halal laki-laki lain selain dirinya.
B. Hukum Pernikahan
Seting peradaban manusia yang selalu menyimpan potensi dan tragedi dibalik karakter nurani kemanusiaannya yag mendambakan keakraban, kebersamaan dan persaudaraan dalam realitas sosialnya memunculkan pilihan yang dilematis yang menyulitkan untuk menciptakan hubungan yang harmonis dan produktif di jenjang pernikahan.
Pernikahan sebagai faktor yang sangart menentukan orientasi dan prilaku manusia dalam bingkai persepsi publik awam merupakan jembatan emas sebagai wahana untuk bersenang-senang, bergembira dan bersuka ria, maka tidaklah heran jika Nabi mengatakan dalam salah satu haditsnya yang memerintahkan untuk menikah "nikah adalah sunnahku, barangsiapa yang tidak menyukai sunnah maka bukanlah termasuk golonga(umat)ku".
Dari teks hadits ini para ulama merumuskan hukum nikah menjadi beberapa macam, yaitu :
a. Sunnah, ini merupakan hukum asal dari pernikahan
b. Wajib, jika dikhawatirkan terjerumus dalam perzinahan
c. Mubah
d. Haram, jika dikhawatirkan dengan nikah terjadi kemadhorotan
C. Perempuan Muslim Mengawini Laki-laki Non Muslim
Semua ulama' sepakat bahwa perempuan muslim tidak diperbolehkan (haram) kawin dengan laki-laki non muslim, baik ahli kitab maupun musyrik. Pengharaman tersebut selain didasarkan pada QS. Al-Baqarah ayat 221, juga didasarkan pada QS. Al-Mumtahanah ayat 10, yang berbunyi :
"Wahai orang-orang yang beriman, apabila perempuan-perempuan mukmin dating berhijrah kepada kalian, maka hendaknya kamu uji (keimanan) mereka, Allah sungguh mengetahui keimanan mereka, jika kamu mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kalian mengembalikan mereka kepada orang kafir. Mereka (perempuan mukmin) tidaklah halal bagi mereka (laki-laki kafir), dan mereka (laki-laki kafir) juga tidak halal bagi mereka (perempuan mukmin)".
As-Sayyid Sabiq menyebutkan beberapa argumen tentang sebab diharamkan perempuan muslim kawin dengan laki-laki non muslim sebagai berikuut:
a. Orang kafir tidak boleh menguasai orang Islam berdasarkan QS. An-Nisa' ayat 141: "....Dan Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir itu mengalahkan orang mukmin".
b. Laki-laki kafir dan ahli kitab tidak akan mau mengerti agama istrinya yang muslim, malah sebaliknya mendustakan kitab dan mengingkari ajaran nabinya. Sedangkan apabila laki-laki muslim kawin dengan perempuan ahli kitab maka dia akan mau mengerti agama, mengimani kitab dan sebagai bagian dari keimanan seseorang tanpa mengimani kitab dan nabi-nabi terdahulu.
c. Dalam rumah tangga campuran, pasangan suami istri tidak mungkin tinggal dan hidup (bersama) karena perbedaan yang jauh.
D. Laki-laki Islam dengan Perempuan Musyrik atau Ahli Kitab
Para ulama' sepakat mengharamkan laki-laki muslim kawin dengan perempuan penyembah berhala (musyrik). Perempuan musyrik disini mencakup perempuan penyembah berhala (Al-Watsaniyyah), Zindiqiyyah (Atheis), perempuan murtad, penyembah api dan penganut aliran libertine (Al-Ibadah), seperti paham Wujudiyyah.
Satu hal yang membedakan antara perempuan musyrik dengan perempuan ahli kitab, menurut As-Sayyid Sabiq adalah bahwa perempuan musyrik tidak memiliki agama yang melarang berkhianat, mewajibkan berbuat amanah, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Apa yang dikerjakan dan pergaulannya dipengaruhi ajaran kemusyrikan, yakni khurafat dan spekulasi (teologi) atau lamunan dan bayangan yang dibisiki setan. Inilah yang bisa menyebabkan ia mengkhianati suaminya dan merusak akidah anak-anaknya.
Sementara antara perempuan ahli kitab dan laki-laki mukmin tidak terdapat distansi yang jauh. Perempuan ahli kitab mengimani Allah dan menyembah-Nya, beriman kepada para nabi, hari kiamat beserta pembalasannya dan menganut agama yang mewajibkan berbuat baik dan mengharamkan kemungkaran.
Pada dasarnya laki-laki mukmin diperbolehkan (halal) mengawini perempuan ahli kitab berdasarkan pengkhususan qs. Al-Maidah ayat 5. pengertian ahli kitab disini mengacu pada dua agama besar rumpun semitik sebelum Islam, yaitu Yahudi dan Nasrani.
Ibnu Rusyd menulis bahwa para ulama' sepakat atas kehalalan mengawini perempuan ahli kitab dengan syarat ia merdeka (bukan budak), sedangkan mengenai perempuan ahli kitab bukan dari perempuan ahli kitab yang dalam status tawanan (bi al-malik) para ulama' berbeda pendapat.
Ibnu Munzhir berkata: "Tidak ada dari sahabat yang mengharamkan (laki-laki muslim mengawini perempuan ahli kitab)". Quthubi dan Nu'as mengatakan bahwa diantara sahabat yang menghalalkan antara lain Utsman, Thalhah, Ibnu Abbas, Janir dan Hudzaifah. Sedangkan dari golongan Tabi'in yang menghalalkan adalah Sa'id Bin Mutsayyab, Sa'id Bin Jabir, Al-Hasan, Mujahid, Thawus, Ikrimah, Sya'ib, Zahak dan lain-lain. As-Sayyid Sabiq mencatat hanya ada satu sahabat yang mengharamkan, yakni Ibnu Umar.
Diantara sahabat ada yang mempunyai pengalaman mengawini perempuan ahli kitab yaitu Utsman ra. kawin dengan Nailah Binti Qaraqishah Kalbiyyah yang beragama Nasrani, meskipun kemudian masuk Islam.
Adapun pendapat fuqaha empat madzhab Sunni tentang laki-laki muslim mengawini perempuan ahli kitab adalah sebagai berikut:
a. Madzhab Hanafi
Para ulama' madzhab Hanafi mengharamkan seorang laki-laki mukmin mengawini perempuan ahli kitab yang berdomisili di wilayah yang sedang berperang dengan Islam (Dar Al-Harb) karena bisa membuka pintu fitnah. Sedangkan mengawini perempuan ahli kitab Dzimmi (yang berada di Negara dan perlindungan pemerintah Islam) hukumnya makruh, sebab mereka tunduk pada hukum Islam.
b. Madzhab Maliki
Pendapat madzhab Maliki terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, memandang bahwa mengawini perempuan ahli kitab baik di Dar Al-Harb maupun Dzimmiyyah hukumnya makruh mutlak. Hanya saja kemakruhan yang di Dar Al-Harb kualitasnya lebih berat. Kelompok kedua memandang tidak makruh mutlak sebab Dhahir QS. Al-Maidah ayat 5 membolehkan secara mutlak. Tetapi tetap saja makruh karena digantungkan kemakruhannya berkaitan dengan dar al-islam (pemerintah Islam), sebab perempuan ahli kitab tetap saja boleh minum Khamer, memakan babi dan pergi ke Gereja.
c. Madzhab Syafi'i
Para ahli fuqaha madzhab Syafi'i memandang makruh mengawini perempuan ahli kitab yang berdomisili di Dar Al-Islam, dan sangat dimakruhkan (Tasydid Al-Karahah) bagi yang ada di Dar Al-Harb, sebagaimana pendapat fuqaha Malikiyah, ulama' Syafi'iyah memandang kemakruhan tersebut terjadi dalam peristiwa berikut:
a. Tidak terbesit calon mempelai laki-laki muslim untuk mengajak perempuan ahli kitab tersebut masuk Islam.
b. Masih ada perempuan muslim yang salihah.
c. Apabila tidak mengawini perempuan ahli kitab tersebut ia bisa terperosok ke dalam perbuatan zina.
d. Madzhab Hambali
Laki-laki muslim diperbolehkan dan bahkan sama sekali tidak dimakruhkan mengawini perempuan ahli kitab berdasarkan keumuman QS. Al-Maidah ayat 5. disyaratkan perempuan ahli kitab tersebut adalah perempuan merdeka (bukan budak), karena Al-Mushanat yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah perempuan merdeka.
E. Kedudukan Hukum dalam Kawin Campuran
Bagian ini secara khusus ingin melihat bagaimana penerapan hukum kawin lintas agama di Indonesia. Selain itu, tentunya wacana-wacana yang mendukung konstruksi larangan kawin lintas agama juga akan kita perhatikan. Sesungguhnya counter yang berkembang terhadap wacana kawin lintas agama tersebut semakin hari semakin tampak.
Apalagi gugatan terhadap kompilasi hukum Islam (KHI) saat ini termasuk terhadap pasal larangan kawin lintas agama, setelah era reformasi juga semakin kuat. Akan tetapi kita akan membahas wacana dan counter wacana tersebut dalam bab empat ini. Sekarang kita memfokuskan konstruksi larangan kawin lintas agama.
Pada tanggal 4 Juni tahun 1980 majelis ulama' Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa berkaitan dengan kawin lintas agama. Fatwa ini merupakan tindak lanjut dari pembicaraan mengenai kawin lintas agama yang telah dibicarakan dalam konferensi tahunan kedua MUI pada tahun 1980. Fatwa tersebut menghasilkan dua butir ketetapan.
Pertama, bahwa orang Islam perempuan tidak diperbolehkan untuk dikawinkan dengan seorang laki-laki bukan Islam. Kedua, laki-laki muslim tidak diizinkan untuk mengawini seorang perempuan bukan Islam, termasuk Kristen (ahli kitab).
Ketetapan laki-laki dilarang mengawini perempuan non Islam ini merupakan perkembangan baru fiqh Indonesia yang berseberangan dengan teks QS. Al-Maidah ayat 5 dan pendapat mayoritas fuqaha yang memperbolehkannya.
Selain MUI, Ormas Islam yang secara resmi mengeluarkan ketetapan larangan kawin lintas agama adalah Muhammadiyah. Secara umum, Muhammadiyah dalam masalah kawin lintas agama sama dengan pendapat jumhur (matoritas) fuqaha. Laki-laki muslim tidak dibenarkan mengawini perempuan musyrik, sedangkan perempuan muslim juga tidak dibenarkan dikawinkan dengan laki-laki musyrik dan ahli kitab.
Melihat realitas yang ada dalam masyarakat dalam hal kawin lintas agama, Muhammadiyah mengamati ada dua akibat negatif. Pertama, beralihnya agama suami pada agama yang dianut oleh istrinya. Kedua, pada umumnya agama yang dianut anaknya sama dengan agama yang dianut ibunya. Untuk itulah Muhammadiyah secara tegas menyatakan telah menggunakan metode Sabdu Adz-Dzari'ah guna mengharamkan perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab.
Menurut Muhammadiyah, haram disini bukan haram Lidzalihi, tetapi haram Li Sabb Adz-Dzari'ah. Metode ini dipandang sebagai bentuk aplikasi dari kaidah fiqh Dar'u Al-Mafasid Muqaddamun 'Ala Jalbi Al-Mashalih (menghindari kerusakan itu harus lebih didahulukan daripada mengambil kemaksiatan).
Sementara Nahdlatul Ulama' (NU) secara resmi belum pernah mempersoalkan perkawinan lintas agama. Jika kita teliti pembahasan Masail Ad-Diniyah (masalah-masalah agama) dari hasil sidang Muktamar NU ke-29 di Tasikmalaya, kita tidak menemukan pembahasan mengenai kasus ini.
Ahmad Sukarja menulis hukuim perkawinan antara perempuan muslim dengan laki-laki Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan pemeluk kepercayaan non Islam lainnya adalah haram mutlak. Perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan Hindu dan Budha juga haram mutlak, karena perempuan Hindu dan Budha termasuk golongan musyrik. Sementara itu perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan Kristen dan Katolik hukumnya haram Li Sadd Adz-Dzari'ah.
Pendapat serupa juga diungkapkan oleh Ali Hasan. Ia menjelaskan alasan-alasan kemudharatan maupun tinjauan hukum Islam. Li Sadd Adz-Dzari'ah sama dengan pandangan di atas.
Ada kesulitan tersendiri dalam merumuskan secara pasti peraturan masalah kawin lintas agama bagi umat Islam di Indonesia. Peradilan Agama sebagai peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam diantaranya mempunyai sumber hukum dari KHR/R.Bg. UU. No. 1 tahun 1991 tentang Komplikasi Hukum Islam (KHI) yang masing-masing mengatur mengenai kawin lintas agama.
Pendapat yang sering dianut para hakim Peradilan Agama (PA) menganggap tidak boleh dilakukan kawin lintas agama, baik antara laki-laki muslim dengan perempuan non muslim, atau sebaliknya. Pendapat ini didasarkan pada KHI pasal 40 butir c, yakni:
"Dilarang melangsungkan perkawinan antara laki-laki dengan perempuan karena keadaan tertentu."
Dan KHI pasal 44, yaitu:
"Seorang perempusn Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang laki-laki yang tidak beragama Islam."
Larangan ini menjadi lebih kuat menurut pendapat Ahmad Sukarja, karena UU Perkawinan (UUP) No. 1 tahun 1974 pasal 2 (1) menyebutkan:
"Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". Di samping itu juga merujuk UUP pasal 8 (f), yakni: "Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain berlaku, dilarang kawin".
Pertimbangan pelarangan kawin lintas agama dalam KHI antara lain. Pertama, pandangan bahwa kawin lintas agama lebih banyak menimbulkan persoalan, karena terdapat beberapa prinsip yang berbeda antara kedua mempelai. Memang ada pasangan perkawinan yang berbeda agama dapat hidup rukun dan mempertahankan ikatan perkawinannya, namun yang sedikit ini dalam pembinaan hukum belum dijadikan acuan, karena hanya merupakan pengecualian. Kedua, KHI mengambil pendapat ulama' Indonesia, termasuk di dalamnya MUI.
Sebagai jalan keluar bagi seorang muslim yang kawin dengan non muslim adalah mencatatkan diri pada Kantor Catatan Sipil. Namun jalan ini juga pernah mendapatkan kritikan dari MUI DKI Jakarta, karena menurutnya Kantor Catatan Sipil sebagaimana Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 tahun 1975 pasal 2 (2) hanya bertugas sebagai pencatat perkawinan bagi pasangan non muslim.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari beberapa uraian di depan, penulis dapat mengambil kesimpulan diantaranya adalah:
a. Kesepakatan para ulama' fuqaha dalam mengharamkan perkawinan lintas agama, antara perempuan muslim dengan laki-laki non muslim.
b. Kemakruhan seorang laki-laki muslim melakukan perkawinan dengan perempuan non muslim.
c. Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan itu tetap dianggap sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya.
B. Saran
Dengan adanya hukum-hukum perkawinan yang diatur oleh Al-Qur'an dan Undang-undang perkawinan di Indonesia, semoga kita berhati-hati dalam mencari dan menentukan pasangan hidup. Karena perkawinan itu tidak untuk sehari dua hari, tetapi untuk selamanya, maka dari itu jika kita memilih pasangan hidup, pilihlah yang seiman dan seakinah, agar perkawinan yang dibina mendapatkan barokah dari Allah SWT. Dan menjadi keluarga yang sakinah, mawadah dan warahmah.

DAFTAR PUSTAKA

Al Husaini,Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad. Kifayah al Akhyar, Surabaya al Hidayah.
Al Jabiri, Abdurrahman, 1990, Al-Fiqh 'Ala Al-Madhahib Al-Arba'ah, Beirut, Dar Al-Fikr.
Hasan, M. Ali, 1997, Masalah Fiqiyah Al-Haditsah, Jakarta, Rajawali.
Rafiq, Ahmad, 1995, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Rajawali.
Rusyd, Ibnu, Bidayah Al-Mujtahidah, Beirut, Dar Al-Fikr.
Sabiq, As-Sayyid, 1985, Fiqh As-Sunnah, Beirut, Dar Al-Kitab Al-'Arabi.
Suwarno, SH. LSH. 1972, Perkawinan Antar Agama, Majalah No. e tahun ke III.
Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 1 (1)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................2
C. Tujuan..........................................................................................................2
D. Manfaat........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN……………………………..................................................8
4.1 Hasil Analisis Data………………………………………………………..8
A. Perempuan Muslim Mengawini Laki-laki Non muslim…………...8
B. Laki-laki Islam dangan Perempuan Musyrik atau Ahli Kitab……..9
C. Kedudukan Hukum dalam Kawin Campuran…………………….12
BAB V PENUTUP.....................................................................................................16
1. Kesimpulan..................................................................................................16
2. Saran............................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................17


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Karena atas limpahan rahmat dan karunian-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul "Perkawinan Beda Agama Menurut Pandangan Islam".
Dalam menyelesaikan karya ilmiah ini, penulis berterima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu demi terselesaikannya karya ilmiah ini. Dan tidak lupa ucapan terima kasih kepada kedua orang tua yang selalu mendukung kami dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Secara khusus, penulis menyampaikan terima kasih dan rasa hormat kepada Ibu Siti Rumilah S.Pd selaku Dosen Bahasa Indonesia yang telah membina dan membimbing kami demi terselesaikannya kerya ilmiah ini, sehingga penulis mampu melewati beberapa kendala yang ada dengan mudah.
Sesungguhnya penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran sangat membantu demi perkembangan dan menambah pengetahuan penulis. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Amiiiiin




Surabaya, Januari 2008

Penulis





PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN ISLAM
KARYA ILMIAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
"Bahasa Indonesia"








Disusun Oleh:
SYIFAUL QULUB
Dosen Pembimbing:
Siti Rumilah, S.Pd



FAKULTAS SYARIAH
JURUSAN MUAMALAH
INSTITUTE AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2008

No comments:

Post a Comment