Friday, April 23, 2010

PETA PERKEMBANGAN POLITIK ISLAM DI INDONESIA

A. Definisi Politik Islam
Istilah politik dalam kamus ilmiah Indonesia diartikan sebagai siasat, kebijakan yang menyangkut urusan kenegaraan . Sedangkan politik dalam bahasa Arabnya disebut "Siya>sah" atau dalam bahasa Inggrisnya "politic". Politik itu sendiri berarti cerdik atau bijaksana. Namun dalam pembicaraan yang sering kita pakai setiap hari, biasanya politik diartikan sebagai suatu cara untuk mensiasati lawan, baik siasat itu dengan cara yang positif atau dengan cara negatif yang berfungsi untuk mewujudkan suatu tujuan. Tetapi sebenarnya para ahli politik pun mengakui bahwa sangat sulit memberikan definisi tentang ilmu politik.
Pada dasarnya politik mempunyai ruang lingkup negara, membicarakan politik sama saja membicarakan negara atau tata pemerintahan, karena teori politik menyelidiki negara sebagai lembaga politik yang mempengaruhi hidup masyarakat, jadi negara dalam keadaan bergerak. Selain itu politik juga menyelidiki ide-ide, asas-asas, sejarah pembentukan negara, hakekat negara serta bentuk dan tujuan negara.
Asal mula kata politik itu sendiri berasal dari kata "polis" yang berarti "negara kota", dengan politik berarti ada hubungan khusus antara manusia yang hidup bersama dan dalam hubungan itu timbul aturan, kewenangan, dan akhirnya kekuasaan. Tapi politik bisa juga dikatakan sebagai kebijaksanaan, kekuatan, kekuasaan, pemerintahan, konflik dan pembagian atau kata-kata serumpun.
Terminologi politik pada dasarnya pertama kali dikenalkan dari buku Plato yang bejudul poletea, yang kemudian dikenal dengan Republik. Istilah tersebut kemudian ditemukan pula dalam karya Aristoteles, murid Plato yang berjudul politea. Kedua karya tersebut dipandang sebagai pangkal pemikiran politik yang berkembang kemudian. Artinya pergulatan tentang politik, utamanya berkaitan dengan historis, tidak bisa dilepaskan dari kedua karya monumental tentang politik di atas .
Istilah politik dari Plato dan Aristoteles merupakan kata yang dipergunakan untuk konsep pengaturan masyarakat. Kedua filosof tersebut menekankan pembahasan tentang politik berkaitan dengan masalah, yaitu bagaimana pemerintahan dijalankan agar terwujud sebuah masyarakat politik atau negara yang paling baik. Agar upaya tersbut berhasil, maka politik memerlukan seperangkat alat atau unsur-unsurnya, seperti menjalankan pemerintahan, masyarakat sebagai pihak yang berkepentingan, kebijaksanaan dan hukum-hukum yang menjadi sarana pengaturan masyarakat, dan cita-cita yang hendak dicapai.
Ada juga yang mengartikan politik ke dalam dua definisi. Pertama, pandangan yang mengkaitkan politik dengan negara, yakni dengan urusan pemerintahan pusat atau pemerintahan daerah. Kedua, pandangan yang mengkaitkannya dengan masalah kekuasaan, otoritas dan konflik. Maka perbedaan pengertian ini berkaitan dengan digunakanya pendekatan yang berbeda tentang politik, yaitu pendekatan tradisional dan pendekatan prilaku.
Dengan demikian, politik berkaitan dengan segala sesuatu yang berkenaan dengan pengelolaan negara beserta ruang lingkupnya. Pengkaitan pengelolaan negara bertujuan agar fungsi-fungsi kenegaraan berjalan dengan baik. Pengelolaan tersebut pada ahirnya tidak hanya berkaitan dengan sistem negara, tetapi juga berkaitan dengan prilaku politik dan institusi politik dalam negara. Jadi hakekat politik adalah prilaku manusia, baik berupa aktifitas ataupun sikap, yang bertujuan mempengaruhi dan mempertahankan tatanan sebuah masyarakat dengan mengunakan kekuasaan.
Sedangkan dalam Islam, istilah politik Islam berarti "siya>sah sha>r‘iyyah" yang diartikan sebagai ketentuan kebijaksanaan pengurusan masalah kenegaraan yang berdasarkan syari'at Islam. Menurut Abdul Wahab Khalaf, sebagaimana dikutip oleh Listono Santoso, bahwa siya>sah shar‘iyyah diartikan sebagai pengelolaan masalah-masalah umum bagi pemerintahan Islam yang menjamin terciptanya kemaslahatan dan terhindarnya kemudaratan dari masyarakat Islam, dan tidak bertentangan dengan ketentuan syari'at Islam dan prinsip-prinsip umumnya, meskipun tidak sejalan dengan pendapat para ulama' mujtahid. Definisi ini lebih dipertegas lagi oleh Abdurrahman Taj yang merumuskan siya>sah shar‘iyyah sebagai hukum-hukum yang mengatur kepentingan negara, mengorganisasi permasalahan umat sesuai dengan jiwa (semangat) syari'at dan dasar-dasarnya yang universal demi terciptanya tujuan-tujuan kemasyarakatan, walaupun pengaturan tersebut tidak ditegaskan oleh al-Qur’an dan al-Sunnah.
Dari beberapa pandangan tokoh Islam tentang pandangan siya>sah shar‘iyyah politik Islam di atas dapat dirumuskan tentang pengertian siya>sah shar‘iyyah, yaitu:
1. Bahwa siya>sah shar‘iyyah berhubungan dengan pengurusan dan pengaturan kehidupan manusia
2. Bahwa pengurusan dan pengaturan ini dilakukan oleh pemegang kekuasaan
3. Bahwa tujuan pengaturan tersebut adalah untuk menciptakan kemaslahatan dan menolak kemudaratan
4. Bahwa pengaturan tersebut tidak boleh bertentangan dengan ruh atau semangat syari'at Islam yang universal.
Berdasarkan hakekat siya>sah shar‘iyyah dapat disimpulakan bahwa sumber-sumber pokok siya>sah shar‘iyyah adalah wahyu al-Qur’an dan Sunnah. Kedua sumber inilah yang menjadi acuan bagi pemegang pemerintahan untuk menciptakan peraturan-peraturan untuk mengatur kehidupan bernegara, namun aturan itu juga bisa terbentuk dari manusia itu sendiri dari lingkungan sekitar yang berupa pendapat para ahli, yurisprudensi, adat istiadat yang berlaku.

B. Tipologi Pemikiran Islam
Kemelut perdebatan yang sering muncul terkait masalah politik Islam telah bergaung dimana-mana, perdebatan antara Islamis (radikalisme) dan sekularis (liberalisme) ini akan senantiasa menarik untuk dikaji, baik itu di negara Mesir, Iran, Iraq, Pakistan dan belahan penjuru dunia termasuk Indonesia. Dari perdebatan-perdebatan itu akan muncul klaim-klaim tentang kebenaran masing-masing. Karena radikalisme dan liberalisme dalam konteks ini telah menjadi suatu madzhab.
Sebelum membahas lebih jauh tentang karakteristik atau tipologi pemikiran Islam, kiranya perlu penulis jabarkan tentang prinsip dasar teori politik Islam, yaitu Iman terhadap ke-Esa-an dan kekuasaan Allah merupakan landasan sistem sosial dan moral yang ditanamkan oleh para Rasul. Dari sinilah filsafat politik Islam mengambil titik pijak. Prinsip dasar Islam adalah bahwa makhluk yang bernama manusia, baik secara individual maupun kelompok, harus menyerahkan semua hak atas kekuasaan, legislasi serta penguasaan atas semuanya. Tidak seorangpun yang akan diperkenankan memberikan perintah atau aturan-aturan sekehendaknya sendiri dan tidak seorangpun diperkenankan untuk mengakui kewajiban untuk melaksanakan perintah atau aturan seperti ini. Tidak seorangpun yang diberi hak istimewa untuk membuat undang-undang sekehendak hatinya sendiri dan tidak seorangpun yang wajib mengingatkan dirinya kepada undang-undang yang telah dibentuk dengan cara seperti ini. Hak ini hanya merupakan hak Allah.
Baik Islam liberal maupun Islam fundamental sebenarnya berakar pada gerakan Islam revivalis (salafi) yang lahir sebelum periode modern (abad ke-18), seperti Wahabi di Arab Saudi, al-Sanusiah di Afrika Utara, al-Mahdi di Sudan, al-Dihlawi di India, Hassan al-Banna pendiri Ikhwanul Muslimin dari Mesir dan kaum Paderi di Indonesia.
Gerakan revivalis mempunyai dua faksi. Pertama, revivalis-politik yang cenderung bersifat lebih keras dan radikal seperti diwakili oleh Wahabi. Kedua, revivalis-nonpolitik yang bersifat moderat dan lebih lunak dari yang pertama, seperti yang diwakili oleh al-Dihwali dan Hassan al-Banna. Namun, kedua faksi ini tetap setia pada pemikiran revivalisme, yaitu mempertahankan kemurnian akidah, kesesuaian cara ibadat, serta moralitas sosial Islam .
Di dalam periode modern Islam (abad ke-19) dasar-dasar pemikiran revivalisme diatas tetap dijadikan salah satu paradigma pembaharuan oleh kelompok modernis seperti al-Afghani, Muhammad Abduh, Ahmad Khan, Mohammad Iqbal, dan Ahmad Dahlan. Dasar pemikiran yang terpenting adalah akidah Islam yang dijamin otentisitasnya. Maka dari sinilah, apa yang disebut Islam liberal dan Islam radikal sebagai yang dimaksud sekarang, mulai muncul benih-benihnya. Dan, disinilah letak kedua gerakan ini, yaitu terlahir dari revivalisme. Hanya saja, Islam liberal mengembangkan dasar-dasar revivalisme menjadi gaya modernisasi dunia Islam yang berbau barat (western). Benih Islam liberal pada periode ini (abad ke-19) dipelopori oleh murid-murid Muhammad Abduh seperti Ali Abd al-Raziq dan Thaha Hussein. Sedangkan Islam fundamental mengembangkanya menjadi kekuatan perlawanan terhadap modernisasi dalam arti westernisasi (pembaratan). Benih Islam radikal dipelopori oleh Hassan al-Banna serta Sayyid Qutb.
Banyak konstruk pemikiran yang melahirkan berbagai pandangan tentang bagaimana kita, sebagai kaum muslimin menyikapi politik. Tentang bentuk kenegaraan yang seperti apa yang harus dipakai oleh suatu negara. Dari beberapa pemikiran para tokoh itu semua yang ahirnya mengarah pada karakter dan tipologi politik Islam itu sendiri. Namun secara umum para pemikir membaginya dalam tripologi. Dalam pandangan A. Djazuli, beliau membagi kerangka berfikir dunia Islam dewasa ini menjadi tiga tipe, pertama, liberal (sekuler) yaitu negara menolak hukum Islam secara penuh, kedua, fundamental (intergralistik) yaitu negara melaksanakan hukum Islam secara penuh, ketiga, moderat (simbiotik) yaitu negara yang tidak menjadikan sebagai suatu kekuatan struktural (dalam sektor politik), tetapi menempatkannya sebagai kekuatan kultural, atau mencari kompromi. Sedangkan menurut Din Syamsuddin, paradigma pemikiran politik Islam modern dibagi atas "tradisionalis", "modernis", dan "fundamentalis".

1. Tipologi Liberal
Secara harfiah istilah liberal berarti bebas, yang menghendaki adanya kebebasan individu. Masyarakat liberal adalah representasi (perwakilan) dari sebuah komunitas yang didalamnya setiap individu mempunyai kebebasan untuk betindak, dalam kebebasan untuk berbeda pendapat, kebebasan untuk memeluk agama, dan berbagai bentuk kebebasan yang berkaitan dengan terpenuhinya tuntutan Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokratisasi.
Paradigma liberal, sesuai dengan maknanya yang sederhana, adalah bebas, merdeka dan tidak terikat. apabila diletakkan dalam konteks pemikiran, maka seorang yang memiliki tipikal berfikir liberal adalah mereka yang bebas untuk berfikir dan mengeluarkan pendapat serta merdeka tanpa harus terikat pada segala bentuk pengetahuan dan otoritas manapun. Model demikian biasanya menjunjung tinggi martabat pribadi manusia dan kemerdekaanya. Manusia sebagaimana yang pernah menjadi diktum awal renaissance adalah subyek otonom. Subyek yang memiliki kesadaran untuk berfikir, berbuat dan bertindak .
Pola liberal ini menekankan pemisahan antara agama dan negara, yang menyatakan bahwa dalam Islam tidak ditemukan aturan-aturan yang berkaitan dengan masalah politik atau kenegaraan. Islam hanyalah mengatur hubungan antara menusia dan Tuhan. Para penganut tokoh ini beranggapan bahwa agama itu bersifat universal sedangkan politik itu portikular (individu), maka dari itu antara agama dan politik tidak bisa bersatu.
Kelompok yang memisahkan agama dan negara ini menekankan argumentasi bahwa tidak ada ayat yang secara tegas mewajibkan pembentukan pemerintahan dan negara, sekaligus menekankan bahwa pembentukan pemerintahan tidaklah masuk dalam tugas yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi Muhammad. Beliau hanya Rasul yang membawa risalah agama saja, tidak termasuk perintah membentuk negara.

                              

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri di antara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikain itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S, al-Nisa': 59)

Dalam menyikapi ayat ini, menurut Raziq sebagaimana dikutip oleh Syarif Hidayatullah berpendapat bahwa ayat ini tidak ada kaitanya dengan pemerintahan apapun. Bagi Raziq, makna u
  • <>n" yang berarti pengikut tauhid, tetapi mereka umumnya lebih dikenal dengan sebutan Wahabi. Karena popularitas gerakan dan tempatnya di pusat Islam, gerakan Wahabi mengambarkan prototipe semangat fundamentalisme dalam pengalaman Islam modern . Wahabisme didasarkan pada keberadaan pemikiran terahir yang membawa mereka pada puncak fundamentalisme yang militan.
    Sekitar tahun 1970-an, ada dua arus besar fundamentalisme Islam. Salah satunya adalah yang nada dan organisasinya bercorak tradisional, yang merupakan kelangsungan dari garis yang terdahulu, yaitu berupa gerakan-gerakan fundamentalis militan. Bentuk fundamentalisme ini sangat jelas dalam monarki Saudi, tetapi sejumlah asosiasi fundamentalis juga terus berlanjut dalam format-format yang terlembaga dan mempertahankan pandangan-pandangan idiologis yang sejak lama didefinisikan dan ditegaskan. Pergeseran penekanan kembali pada tema-tema Islam yang murni selama dekade tersebut memberikan kemungkinan pada kelompok-kelompok ini untuk mendapatkan vasibilitas dan prestise yang lebih besar, dan dibeberapa wilayah, kelompok-kelompok fundamentalis tradisional menjadi kekuatan-kekuatan sosio-politik yang penting.
    Disamping garis perkembangan fundamentalis tersebut, tahun 1970-an merupakan suatu periode dimana bentuk fundamentalis juga memiliki bentuk yang radikal. Fundamentalisme radikal terikat dalam suatu reorientasi tentang tradisi Islam. Radikalisme ini merupakan sintesis dari radikalisme yang telah ditransformasikan pada tahun 1960-an dan semangat fundamentalis Islam. Fundamentalis radikal menekankan partisipasi masa, kontrol partisipatori, identitas unit yang kecil dan menghilangkan perbedaan-perbedaan sosio-politik lama .
    Pada perkembangan berikutnya, di India muncul seorang pemikir yang cukup radikal, yakni Abul A'la al-Maududi. Ia tidak hanya seorang pemikir, tapi sekaligus aktifis partai politik yang mencita-citakan berlakunya negara berdasarkan Islam. Partai yang didirikanya adalah Jemaat Islami. Oleh para pengamat barat ia digolongkan sebagai pemikir fundamentalis. Pemikir di Mesir yang juga radikal adalah Hassan al-Banna dan Sayyid Qutb. Dua tokoh ini adalah pemimpin tertinggi Ikhwan al-Muslimin, sebuah gerakan Islam yang mencita-citakan berlakunya syari'at Islam di Mesir yang memiliki jaringan luas di berbagai dunia Islam .

    3. Tipologi Moderat (Reformis dan Sintesis)
    Pemikiran ini mengutarakan bahwa dalam Islam tidak ada aturan yang pasti tentang masalah politik atau tata negara, namun ada prinsip atau asas yang harus ditegakkan. Memang Rasulullah S.A.W bukan diutus sebagai pemimpin politik, tetapi sebagai Rasul. Perlu diketahui, konsep kerasulan beliau tidak sebatas menyampaikan pesan Allah (dakwah). Yang paling berat adalah menjadi contoh dan suri-tauladan dalam melaksanakan Islam sebagai cara hidup (way of life). Dalam masa yang singkat, beliau telah berhasil membuat perubahan dan reformasi kesesuaian dimana budaya, pemikiran dan sosio-politik bangsa Arab maju dan gemilang. Semua perubahan ini berlaku karena beliau telah membuat perancangan dan program yang jitu dan bijaksana. Ini dapat dilihat bagaimana beliau berhijrah, membina persaudaraan, membentuk tatanan sosial, membangun ekonomi, politik, dan sosial umat Islam di Madinah. Pengkaji-pengkaji politik Islam setuju dengan pendapat Muhammad Hamidullah yang mengatakan Piagam Madinah yang dirumuskan oleh Rasulullah adalah satu perlembagaan pertama di dunia karena ia dicipta di masa dunia diperintah dengan sistem monarki tidak berperlembagaan dan tidak mengenal kedaulatan undang-undang (supremacy of law). Ini tentunya bukan suatu kebetulan.
    Penganut sistem ini memandang bahwa sistem politik Islam sebagian besarnya merupakan ijtihad, al-Qur’an tidak menjabarkan secara detail tentang bentuk pemerintahan, mekanisme dan pelaksanaan lapangan. Tetapi cukup banyak prinsip-prinsip pemerintahan yang perlu di jadikan pedoman dalam berpolitik. Dan ini sudah cukup untuk mewarnai sistem politik Islam untuk membedakannya dengan sistem politik sekular atau sistem pemerintahan yang despotik, teokratik dan sebagainya. Selain dari pada prinsip dan garis panduan yang diberikan dalam al-Qur’an maupun Sunnah, Islam memberi kelonggaran untuk memikirkan sendiri ke arah dan bentuk pemerintahan yang diinginkan sesuai tuntutan zaman. Kelonggaran ini benar-benar mencerminkan dinamika syari’ah dan rasionalitas Islam. Ia juga sesuai dengan objektif syari’ah untuk menjaga kemaslahatan dan kepentingan manusia.
    Dalam konteks paradigma simbiotik ini, Ibnu Taimiyyah sebagaimana dikutip oleh Din Syamsuddin mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan negara, maka agama tidak akan bisa berdiri tegak, pendapat Ibnu Taimiyah tersebut melegitimasi bahwa antara politik dan agama merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan. Oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak saja berasal dari adanya social contract, tetapi bisa saja diwarnai oleh hukum agama (syari'ah). Singkatnya, syari'ah memiliki peran sentral sebagai sumber legitimasi terhadap realitas politik.
    Fazlurrahman adalah salah satu penggagas yang dinilai sementara kalangan sebagai pemikir orisinal tentang Islam. Terutama ide-ide neo-modernisme yang merupakan gagasan brilian yang hadir dalam wacana baru menggali sumber-sumber nilai Islam langsung pada pokoknya yaitu al-Qur’an. Neo-modernismenya memang selain menyuarakan kemodernan pemahaman Islam juga ditambah dengan kemampuan mengunakan metodologi sistematik tentang al-Qur’an. Begitu juga dalam pemikiran modernisme, lebih banyak mengadopsi gagasan barat dalam perspektif pemikiran barat. Sehingga ada kesan orisinalitas pemikiran Islam telah terbaratkan dalam wacana modernisme. Jadi pemikiran neo-modernisme mengambil bentuk paling mutahir baik dalam terma-terma keIslaman maupun metodologisnya .
    Al-Qur’an dan Sunnah dinilai memuat pesan-pesan universal. Namun pesan itu tidak akan mudah ditangkap, apabila orang kehilanggan cara memahami dalam perspektif yang bersifat histories dengan mempunyai dua dimensi global, pertama dimensi Islam sejarah dan kedua dimensi Islam cita-cita. Jadi Islam harus ditangkap secara utuh dan mempertimbangkannya secara kritis latarbelakang sosio-kultural turunnya ayat. Apabila tidak mampu menagkapnya, maka akan kehilangan ruhnya yang berarti dalam porsoalan nilai praktis kemanusiaan dengan kehidupan kolektif. Disinilah dinamakannya esensial moral kandungan al-Qur’an mutlak diselami terlebih dahulu sebelum dengan tegas menetapkan kekuatan hukum atas suatu persoalan.
    Contoh dari neo-modernisme misalnya tentang kasus perbudakan, yang tadinya sempat ditolerir oleh Islam, bahkan dijadikan beberapa persyaratan sebagai pengantian "fidyah" atas berlakunya pelanggaran terhadap hukum. Namun sacara bertahap perbudakan itu sendiri dihapuskan dalam nuansa hukum Islam dan tidak dibenarkan lagi memberlakukannya. Islam tidak seketika menghapus perbudakan dalam kultur masyarakat jahiliyah, namun Islam menjadikan sandaran pembersihan masalah itu dengan mengkaitkannya kepada penyelesaian hukum, untuk menghilangkan perbudakan secara perlahan namun pasti.



    C. Politik Islam di Indonesia
    Gagasan untuk mengkaji Islam sebagai nilai alternatif baik dalam perspektif interpretasi tekstual maupun kajian kontekstual mengenai kemampuan Islam memberikan solusi baru pada temuan-temuan di semua dimensi kehidupan akhir-akhir ini semakin merebak luas. Penguasaan lebih mendalam mengenai wawasan pemikiran secara filosofis, terutama penjelajahan intelektual terhadap gagasan-gagasan berfikir barat yang seakan tak terbendung lagi datangnya bagi kaum muslimin sudah dimulai sejak abad ke-21, pemikir-pemikir muslim sedang bergulat kuat untuk menemukan jati diri pemikiranya agar bisa memanfaatkan ide-ide yang merayap tak terhingga sebagai akibat modernisasi berfikir radikal yang diterapkan Barat .
    Adanya perbedaan pemikiran tentang konsep politik dalam pengertian strategi perjuangan umat Islam Indonesia, gejala-gejalanya sangat nyata dan bahkan sebetulnya dapat dilacak akar-akarnya sejak tokoh-tokoh bangsa ini merumuskan bentuk dan dasar negara. Oleh karena itu, Indonesia kontemporer saat ini juga tak pernah sepi dari masalah tersebut, yang oleh banyak pengamat sering dikelompokkan ke dalam dua model politik Islam, yaitu pendekatan struktural dan pendekatan kultural.
    Sebagaimana penjabaran diatas, maka kasus di Indonesia sendiri tentang kelompok Islam fundamental yang mengambil bentuk radikal bermula dari tokoh-tokoh revivalis daerah Sumatera di awal abad ke-19 seperti Tuanku Nan Ranceh, Haji Miskin, Haji Simanik, mereka mendapat pengaruh Wahabi. Beberapa tokoh ini mendirikan semacam Dewan Revolusi yang bertujuan menegakkan hukum Syara' dan membasmi kemaksiatan serta praktek-praktek syirik secara radikal seperti menyambung ayam, judi, dan membuka aurat bagi perempuan. Kelompok inilah yang kemudian dikenal dengan Kaum Paderi yang dipelopori oleh Tuanku Imam Bonjol yang mengobarkan perlawanan dan peperangan terhadap Belanda yang mendukung Kaum Adat penentang Kaum Paderi .
    Adapun kelompok Islam liberal di tanah air Indonesia berakar pada pemikiran dan gerakan kaum modernis di awal abad ke-20, seperti Haji Samanhudi pendiri Sarikat Dagang Islam, H.O.S. Cokroaminoto (guru Sukarno), kemudian Agus Salim, dan diteruskan oleh Sukarno, serta sebagian tokoh Masyumi. Di masa tahun 1970-an kelompok liberal dipelopori oleh tokoh-tokoh sepeti Harun Nasution dan kemudian Nurcholish Madjid dan kawan-kawan.
    Pemikiran politik (fundamentalis dan liberalis) sama-sama ingin merespon kondisi kontemporer di Indonesia yang terkait dengan umat Islam. Hanya saja pendekatannya saja yang berbeda, bahkan saling berlawanan. Islam liberal menghadirkan Islam masa lalu demi modernitas. Islam liberal mengangkat tema sekitar demokratisasi, sedangkan Islam fundamentalistik yang revivalis menegaskan modernitas atas nama masa lalu yang mengangkat tema sekitar pergerakan syari'at Islam.
    Relevansi Islam radikal, Islam ditawarkan sebagai kekuatan pendorong munculnya tatanan masyarakat Indonesia baru, civil society yang demokratis. Sedangkan relevansi Islam revivalis, Islam ditampilkan sebagai dasar sekaligus warna masyarakat Indonesia baru yang jauh dari maksiat.
    Dalam pandangan politik Islam di Indonesia sendiri, ada yang beranggapan bahwa negara Indonesia menggunakan politik Islam moderat dan bahkan cenderung mengarah liberal, karena ada beberapa kalangan yang menilai bahwa bobot pemikiran para pemikir Indonesia mengarah kesana, yaitu westernisasi.
    Banyak para Pemikir perpolitikan Islam Indonesia yang cukup mewarnai perpolitikan Indonesia. Secara umum, menurut Howard M Federspiel, ada tiga aliran pemikiran politik di kalangan kaum nasionalis Indonesia: umat Islam yang mengikuti Tjokroaminoto dan Sarekat Islam, kaum Sekularis yang dipimpin Soekarno, dan kaum Komunis yang dipimpin oleh Samaun, Tan Malaka dan Alimin. Dan menyangkut masalah orientasi politik. Menurut Din Syamsuddin setidaknya ada tiga mainstream (arus utama) di antara pemikir politik Islam zaman sekarang. Arus yang pertama mungkin bisa disebut "formalistik", yang kedua "substantivistik", dan yang ketiga "fundamentalis".

    1. Arus Formalistik
    Istilah di atas dimaksudkan untuk mengacu pada bentuk pemikiran mereka yang mempertahankan pelaksanaan yang ketat dari bentuk-bentuk Islam yang formal. Dalam kontek politik, kelompok ini menunjukan orientasi yang cenderung mempertahankan bentuk pra-konsepsi politik Islam, misalnya pentingnya partai politik yang formal (mengunakan nama Islam), ungkapan, idiom-idiom, dan simbol-simbol politik Islam, dan terutama, landasan organisasi secara konstitusional Islam.
    Bagi pemikir-pemikir formalis, mereka berpendapat tentang keharusan menghidupkan kembali Piagam Jakarta bertentang dengan pancasila dan UUD 45. Karena Piagam tersebut, isinya juga mencakup Pancasila itu sendiri yang menyatu dalam pembukaan Konstitusi tersebut.

    2. Arus Substantivistik
    Istilah ini dimaksudkan untuk menunjukan orientasi politik mereka yang menekankan tuntutan manifestasi substansial nilai-nilai Islam dalam aktifitas politik, bukan sekedar manifestasinya yang formal, baik dalam ide-ide maupun kelembagaannya. Bagi pendukung orientasi ini, yang lebih penting adalah eksistensi intrinsik ajaran-ajaran Islam dalam arena politik Indonesia, dan untuk mendorong Islamisasi perlu dilakukan kulturalisasi, yaitu penyiapan landasan budaya, menuju terwujudnya masyarakat Indonesia modern.
    Gagasan-gagasan bagi penekanan Islamisasi budaya telah diperjuangkan oleh mereka yang dikenal sebagai pemikir-pemikir indigenis (pemikir yang menekankan pentingnya memperhatikan unsur-unsur pribumi atau lokal dalam memahami Islam), yang telah berupaya memperhatikan cita-cita Islam bagi budaya nasional Indonesia yang membedakan secara jelas antara Islam dan negara. Salah satu pencetus indigenisme ini adalah Abdurrahman Wahid. Gagasanya tentang "Pribumisasi Islam" dalam menghadapi kultur Indonesia.
    Abdurrahman Wahid adalah salah satu tokoh pemikir Islam di Indonesia. Pemikiran Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur yang mencuat ke permukaan adalah pemikiran Reformatif Modernis dan sangat jauh melesat kedepan. Dalam pikiran Gus Dur, umat Islam Indonesia tidak hanya sekedar mampu mengindonesia, tapi juga mendunia. Gus Dur menghilangkan jauh-jauh perspektif umat Islam untuk berproses dalam modernitas sekularistik, menurut beliau, umat Islam akan sanggup merakit suatu dinamika sosial keagamaan tanpa modernifikasi sekularisasi barat yang selama ini dianggapnya sudah jauh terjengkal dari tatanan pemikiran idiologi modern .
    Gus Dur mempunyai alternatif lain dalam upaya pendekatan terhadap upaya aplikasi nilai-nilai Islam, yaitu apa yang disebut pendekatan sosial-budaya. Pendekatan ini sedikit radikal, yaitu akan sedikit mengadakan perombakan terhadap struktur yang ada. Walaupun demikian menurutnya sangat tidak mungkin dilakukan. Di sisi lain diperlukan dialog terbuka dan saling belajar dengan menyelami sejumlah pendekatan-pendekatan yang dimksud. Menurut Gus Dur, pengintegrasian (pengabungan) wawasan Islam bukan kepada pemerintah, tetapi kepada seluruh rakyat dan bangsa Indonesia. Jadi Islamisasi birokrasi itu cenderung tidak lebih berbeda dengan cara-cara umat Islam terdahulu yang sering mendompleng kepada kekuasaan dan kekuatan untuk menerapkan wawasan nilainya dan menampilkan wajah Islam.
    Pada dasarnya, gagasan besar Abdurrahman Wahid lebih diletakkan pada upaya membangun pemikira liberal mengenai agama, negara dan masyarakat. Menurut Greg Barton sejak membangun kepemimpinan Nahdlatul Ulama', pemikiran Gus Dur sudah kelihatan liberal dan progresif. Dalam merespon derasnya arus modernitas, Gus Dur lebih banyak bersikap positif dan fleksibel. Bagi Gus Dur, watak pluralistik dan multi-komunal mesyarakat Indonesia modern harus di hormati dan dipertahankan dari kecenderungan-kecenderungan sektarianistik. Penolakan terhadap sektarianistik adalah bagian dari keseluruhan ide Gus Dur terhadap pentingnya penghormatan atas realitas yang terjadi dalam masyarakat .
    Gus Dur beranggapan bahwa Islam tidak mengenal doktrin tentang negara. Doktrin Islam tentang negara adalah doktrin tentang keadilan dan kemakmuran. Selama pemerintah bisa mencapai dan mewujudkan keadilan serta kemakmuran, hal itu sudah merupakan kemauan Islam.
    Jadi, dapat digaris-bawahi bahwa pandangan Gus Dur ini sangat substantivistik, artinya ia tidak mempersoalkan bentuk operasional pemerintahan, asalkan sesuai dengan kenyataan yang berkembang. Dengan ungkapan lain, bentuk yang paling tepat adalah bentuk yang paling mungkin digunakan, bukannya bentuk-bentuk "utopis" yang ditawarkan melalui idealisasi sebuah konstruk Islami.
    Sedikit berbeda dengan pandangan Nurcholis Madjid. Seorang pemikir dengan program pembaharuan, beliau berupaya menawarkan pemikiran yang lebih substansial dan lebih sistematik. Selogan beliau "Islam yes, partai Islam no" dan pandangan tentang Islam sebagai faktor komplementer bukanlah titik pangkal pemikiranya, tapi lebih sebagai catatan kesimpulan dari renungannya atas Islam dan historisitas umat Islam di Indonesia. Ia menemukan bahwa sebagai agama fitrah yang menekankan potensi-potensi yang inheren dalam diri manusia dalam kebebasan dan kebaikan. Islam adalah agama universal yang mengajarkan cita-cita kemanusiaan universal, yang mengajarkan inklusivisme, bukan eksklusivisme.
    Menurut Nurcholis Madjid. Apa yang dimaksud modernisasi tidak lain adalah tuntutan mutlak terhadap nasionalisasi dalam semua dimensi kehidupan. Modernisasi identik dengan rasionelisasi, bahkan modenisasi itu sendiri bagi seorang muslim merupakan keharusan mutlak dan wajib ditaati karena merupakan ajaran dan perintah Tuhan. Menurut Cak Nur pemodernan atau modernitas itu adalah suatu ajaran Islam itu sendiri. Islam mempunyai ajaran tentang fitrah (memiliki konsep kebenaran), dan hanif (mempunyai kecenderungan untuk mengali dan menemukan kebenaran), dalam mencari dan menemukan kebenaran itu, salah satu ukuran yang harus dimiliki adalah rasionalitas. Karena seorang muslim memiliki asas kebenaran, maka untuk memenuhi dan menemukan kebenaran itu dituntut kerja rasional yaitu menggunakan batas-batas akal secara maksimal
    Walaupun demikian kemodernan itu sendiri karena diciptakan dan dibikin oleh manusia, maka sifatnya relative. Saat ini sesuatu boleh dikatakan modern, namun pada suatu masa akan datang mungkin sudah kolot dan ketingagalan zaman. Yang modern yang mutlak itu hanya Tuhan Yang Maha Esa. Jadi ringkasnya, modernitas itu berada dalam satu proses panjang dan tidak berkesudahan, kecuali pada sampai titik prima dan puncak keabadian, yaitu Yang Maha Mutlak itu sendiri, Allah.
    Cak Nur tidak memberikan interpretasi yang mengatakan kemodernan itu merupakan bentuk sekularisme, karena Cak Nur mempunyai pandangan agak nyleneh tentang pengunaan istilah itu. Islam membedakan secara prinsip sekularisme dan sekularisasi. Islam tidak pernah menolak sekularisasi, hanya menolak sekularisme. Karena sekularisme bertujuan memisahkan total kepentingan agama dan negara, paham tertutup dan penolakan pada adanya kehidupan selain duniawi. Sedangkan sekularisasi mempunyai kecenderungan hanya kepada sikap sosiologis, berupa pembebasan masyarakat dari belenggu takhayul dalam berbagai aspeknya.
    Ada yang menafsirkan bahwa Nurcholish Madjid sejak tahun 70-an telah menyarankan sekularisasi. Bagi Cak Nur, Islam tidak lebih dari sekadar agama seperti agama-agama lain yang wujud di dunia. Atas dasar ini, agama perlu dibedakan dan dipisahkan dari politik. Oleh karena itu, menurut Nurcholish tidak ada politik Islam, ekonomi Islam, pendidikan Islam dan sebagainya. Baginya negara hanyalah bagian dari aspek keduniaan yang bergantung sepenuhnya kepada nalar dan masyarakat, sedangkan agama berasal dari alam ghaib yang hanya berdimensikan spiritual dan personal.

    3. Arus Fundamentalis
    Istilah ini cenderung mengangkat kembali sendi-sendi Islam ke dalam realitas politik sekarang, yang titik pangkalnya berkeyakinan bahwa kedua mainstream yang lain telah gagal menunjukan Islam sebagai keseimbangan-tandingan dalam meresponi sistem politik Indonesia. Golongan ini menekankan kembali ke al-Qur’an dan Sunnah.
    Salah satu pemikir fundamentalis Indonesia adalah Cokroaminoto. Pandangan beliau tentang konsep kenegaraan berangkat dari pemahaman bahwa Islam merupakan model yang terbaik untuk mengatur kehidupan manusia. Beliau menganggap bahwa al-Qur’an itu sudah mencakup semua aspek kehidupan manusia. Maka apabila kaum muslimin menjalankan perintah Allah dan Rasulnya dengan sungguh-sungguh, sudah pasti mendapatkan keluhuran derajat.
    Selanjutnya Cokroaminoto mengatakan "Menginggat apa-apa yang telah nyata kejadian sejarah, teristimewa sekali menginggat perbuatan dan perjalanan Rasulallah. Itu merupakan contoh yang paling utama bagi umat Islam. Sebagaimana yang dijanjikan oleh Allah, satu dari pada syarat utama ialah : tak boleh tidak kita kaum muslimin mesti mempunyai kemerdekaan umat atau kemerdekaan kebangsaan dan mesti berkuasa atas negeri tumpah darah kita sendiri".

    Beliau menyatakan bahwa segala hal yang menyangkut urusan pemerintahan harus dibicarakan MPR sebagai suatu mekanisme pengambilan keputusan. Di dalam Islam menurutnya, Nabi Muhammad adalah yang pertama kali mendirikan dan memerintah suatu negara yang berdasar sosialisme. Dan untuk era sekarang, dalam mengahadapi kemajuan teknologi pada zaman modern ini, menurut Cokroaminoto cukuplah al-Qur’an dan Hadits yang dijadikan sebagai dasar atau pedoman bagi segala hukum yang dibuat. Dalam pandangan Ahmad Hassan sendiri, politik merupakan alat untuk mencapai cita-cita umat Islam. Politik merupakan bagian dari tugas agama. Lebih jauh Ahmad Hassan menjelaskan bahwa agama tidak terbatas pada akidah dan ibadah, tetapi juga berjuang dalam medan politik agar mencapai kemenangan idiologi Islam.

  • No comments:

    Post a Comment