Friday, April 23, 2010

TAFSIR DAN ISTILAH-ISTILAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN ASAL PENCIPTAAN PEREMPUAN PERTAMA


A. Tafsir
1. Pengertian dan ruang lingkup tafsir
Istilah tafsir ini merujuk pada Al-Qur'an sebagaimana dalam surat Al-Furqan ayat 33:
       •
Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.

Menurut bahasa kata tafsir merupakan wazan dari taf'il dari bentuk kata al-fasr, yang berarti al-ibānah (penjelasan) dan kasyf al-mirād 'an al-lafdl al-musykīl (menguak makna lafadz yang rumit).
Secara istilah tafsir adalah ilmu untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW serta untuk menjelaskan makna-maknanya, mengeluarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya.
Tafsir Al-Qur'an adalah penjelasan atau keterangan terhadap maksud yang sukar memahaminya dari ayat-ayar Al-Qur'an. Adapun ilmu tafsir adalah ilmu yang membahas semua aspek yang berhubungan dengan penafsiran Al-Qur'an, mulai dari sejarah turun Al-Qur'an, sebab-sebab turunnya, qira'at, kaidah-kaidah tafsir, syarat-syarat mufassir, bentuk penafsiran, metodologi tafsir, corak penafsiran, dan sebagainya.
Jadi ilmu tafsir adalah membahas teori-teori yang dipakai dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an, dan penafsiran Al-Qur'an ialah upaya menjelaskan makna-makna yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur'an melalui penerapan teori-teori tersebut.
Dalam ilmu tafsir dikenal dua komponen penting, yaitu komponen eksternal yang meliputi jati diri Al-Qur'an dan kepribadian mufassir. Kemudian yang kedua komponen internal yang meliputi bentuk tafsir, metode tafsir dan corak tafsir.
Dalam buku Wawasan Baru Ilmu Tafsir karya Nasaruddin Baidan mengatakan bahwa bentuk penafsiran ada dua, yaitu bi al-Ma'tsur dan bi al-Ra'yi:
a. Bentuk Riwayat (bi al-Ma'tsur)
Yaitu bentuk penafsiran dengan cara menafsirkan Al-Qur'an berdasarkan nash-nash baik dengan ayat-ayat Al-Qur'an sendiri dengan hadits nabi dengan aqwal para tabi'in.
b. Bentuk Pemikiran (bi Ra'yi)
Yaitu menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an yang berdasarkan pada ijtihad para mufassirnya dengan mempergunakan logika (akal) dan menjadikan akal pikiran sebagai pendekatan utamanya.
Komponen yang internal yang kedua adalah metode tafsir. metode berasal dari bahasa yunani methodos, yang berarti cara atau jalan. Dalam bangsa Arab berarti tharīqah dan manhaj. Sedangkan dalam bahasa inggris adalah method. Metode adalah cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud. Pengertian metode yang umum dapat digunakan pada berbagai obyek, baik yang berhubungan dengan pemikiran maupun penalaran akal, atau menyangkut pekerjaan fisik. Jadi dapat dikatakan, metode adalah salah satu sarana yang penting untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam kaitan ini, maka studi tafsir Al-Qur'an tidak lepas dari metode, yakni suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah dalam ayat-ayat Al-Qur'an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Adapun metodologi tafsir adalah ilmu tentang menafsirkan Al-Qur'an.
Secara garis besar penafsiran Al-Qur'an dilakukan melalui empat cara (metode) yaitu: ijmali (global), tahlili (analitis), muqarrin (perbandingan), dan maudlu'i (tematik).
Kemudian komponen yang ketiga adalah corak tafsir, ada yang cenderung pada tasawuf (sufi), fiqh, filsafat (falsafi), ilmiah (ilmi), sosial kemasyarakatan (adabi ijtima'i), dan lain-lain.
2. Syarat-syarat mufassir
Dalam menafsirkan Al-Qur'an diperlukan berbagai persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang mufassir. Dari beberapa pendapat tentang syarat-syarat mufassir maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Mengetahui bahasa Arab dengan segala cabang-cabangnya, baik dari Sharaf atau Badi'iy, Ma'ani dan Bayannya, maupun Adabul Lughah dan fiqhul-Lughah dan lain-lainnya.
b. Mengetahui pokok-pokok Ulumul Qur'an
c. Mengetahui Hadits-hadits Nabi dan segala macam aspeknya
d. Mengetahui hal ihwal manusia dan tabi'atnya, terutama dari orang-orang Arab pada masa turunnya Al-Qur'an.
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an, Selain yang harus memenuhi persyaratan-persyaratan di atas, seorang mufassir juga harus menempuh pula adab al-mufassir (tata cara seorang mufassir) dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an yang baik dan benar, yaitu dengan cara:
1. Menafsirkan Al-Qur'an lebih dahulu dengan Al-Qur'an
2. Menafsirkan Al-Qur'an dengan keterangan Al-Sunnah
3. Menafsirkan Al-Qur'an dengan pendapat para Sahabat
4. Menafsirkan Al-Qur'an dengan pendapat para Tabi'in
5. Menafsirkan Al-Qur'an menurut kaidah-kaidah bahasa arab
6. Menafsirkan Al-Qur'an dengan ilmu pengetahuan lain.
B. Metodologi Tafsir Muqarrin (perbandingan)
1. Pengertian
Metode tafsir muqarrin adalah suatu metode yang ditempuh oleh seorang mufassir dengan cara mengambil sejumlah ayat Al-Qur'an, kemudian mengemukakan penafsiran para ulama tafsir terhadap ayat-ayat itu, baik mereka termasuk ulama salaf atau ulama hadits yang metode dan kecenderungan mereka berbeda-beda, baik penafsiran mereka berdasarkan riwayat yang bersumber dari Rasulullah SAW, para sahabat atau tabi'in (tafsir bi al-ma'tsur) atau berdasar ratio (ijtihad, tafsir bi al-ra'yi), dan mengungkapkan pendapat mereka serta membandingkan segi-segi dan kecenderungan-kecenderungan masing-masing yang berbeda dalam menafsirkan Al-Qur'an.
Dalam penafsiran Al-Qur'an selalu dipengaruhi oleh perbedaan madzab dan juga sesuai dengan corak pemikiran yang dikuasainya.
Secara garis besar, tafsir muqarrin dapat ditempuh dengan tiga alternatif, yaitu:
a. Alternatif pendekatan pertama, yaitu membandingkan antar sebagian ayat-ayat Al-Qur'an dengan sebagian lainnya.
b. Alternatif pendekatan kedua, yaitu membandingkan penafsiran ayat-ayat Al-Qur'an berdasarkan kepada yang telah ditulis para mufassir.
c. Alternatif pendekatan ketiga, yaitu membandingkan antara satu kitab tafsir dengan kitab tafsir lainnya dari berbagai segi, yang meliputi biografi, latar belakang, penyusunan dan karyanya, kecenderungan (ittijah/na'zah), metode (manhaj), dan sumber yang digunakan.
2. Langkah-langkah metode tafsir muqarrin
Sebagaimana dipaparkan di atas ada tiga alternatif yang harus ditempuh, yaitu alternatif langkah pertama yang termasuk katagori sederhana, yang langkah-langkahnya sebagai berikut:
a. Mencari ayat-ayat Al-Qur'an yang ada kemiripan dengan ayat-ayat yang lainnya Secara redaksional
b. Mencari ayat-ayat Al-Qur'an yang serupa atau sama dengan ayat-ayat yang lainnya secara redaksional
Selanjutnya pada alternatif kedua, termasuk katagori sedang. Langkah-langkahnya sebagai berikut:
a. Memilih sejumlah ayat-ayat Al-Qur'an.
b. Menentukan sejumlah mufassir yang akan dikomparasikan pendapat-pendapat mereka tentang ayat-ayat tersebut. Para mufassir yang akan dikomparasikan boleh dari golongan mutaqaddimin dan atau mutaakhirin maupun zaman modern. Tafsirnya boleh Bi al-Ma'tsur dan atau Bi al Ra'yi maupun bi al-Iqtirani (perpaduan antara Bi al-Ma'tsur dan Bi al-Ra'yi).
c. Meneliti pendapat para mufassir tersebut tentang ayat-ayat yang sudah ditentukan itu dari kitab-kitab tafsir mereka.
d. Membandingkan kecenderungan-kecenderungan setiap mufassir dalam menerapkan metode penafsirannya.
Alternatif yang terakhir adalah alternatif ketiga, termasuk katagori yang luas agak sukar, karena harus melacak biografi dan karyanya, latar belakang penyusunannya, serta dilengkapi dengan kecenderungan, metode, sistematika, dan sumber dalam menafsirkan Al-Qur'an. Langkah-langkahnya adalah:
a. Penyajian fakta yang terdiri dari biografi, latar belakang penyusunan dan karya-karyanya, kecenderungan dan alirannya, metode dan sistematika serta sumber tafsirnya.
b. Evaluasi segi-segi kesamaan dan perbedaannya.
Adapun dalam penelitian ini menggunakan langkah yang kedua, yaitu memilih sejumlah ayat-ayat Al-Qur'an yang akan ditafsirkan dan menentukan sejumlah mufassir yang akan dikomparasikan, kemudian dicari persamaan dan perbedaan selanjutnya dianalisa dari kedua mufassir itu.


C. Istilah-istilah (Term-term) yang Berhubungan dengan Asal Penciptaan Perempuan Pertama
1. Nafs
Kata nafs dengan segala bentuknya terulang 313 kali kali di dalam Al-Qur'an. Sebanyak 72 kali diantaranya disebut dalam bentuk nafs (نفس) yang berdiri sendiri.
Secara bahasa, kata nafs berasal dari kata 'nafasa' (نفس) yang berarti 'bernafas', artinya nafas keluar dari rongga. Belakangan, arti kata tersebut berkembang sehingga ditemukan arti-arti yang beraneka ragam seperti 'menghilangkan', 'melahirkan', 'bernafas', 'jiwa', 'ruh', 'darah', 'manusia', 'diri', dan 'hakikat'. Namun keanekaragaman arti itu tidak menghilangkan arti asalnya misalnya, ungkapan bahwa Allah menghilangkan kesulitan dari seorang digambarkan dengan ungkapan 'Naffasa Allāh Kurbatuhū (نفس الله كربته) karena kesulitan seseorang itu hilang bagaikan embusan nafasnya.
Istilah nafs secara umum diterjemahkan dengan kata 'diri' dan bentuk jamaknya adalah anfus. Namun kata ini hanya digunakan untuk proses penciptaan manusia. Secara teknis penggunaan kata nafs dalam Al-Qur'an menunjukkan bahwa seluruh umat manusia memiliki asal usul yang sama, sekalipun beragam bangsa, bahasa, serta suku budaya yang tersebar diseluruh penjuru dunia. Secara tata bahasa nafs merupakan bentuk muannas (female), sedangkan secara konseptual nafs mengandung arti netral, bukan bentuk laki-laki maupun perempuan.
Dalam Al-Qur'an istilah kata nafs, yang kemudian dalam filsafat dan sufisme Islam diartikan 'jiwa', sebuah substansi yang terpisah dari tubuh. Kebanyakan merujuk pada "dirinya sendiri" (laki-laki atau perempuan) dan jamaknya (anfus) walaupun pada konteksnya merujuk pada "manusia" atau "manusia batiniah", sebenarnya tubuh yang mempunyai pusat kehidupan dan kecerdasanlah yang merupkan identitas batiniah atau personalitas manusia.
Istilah nafs dipahami oleh Amina Wadud Muhsin dipengaruhi oleh konsep nafs dalam istilah filsafat dengan mengatakan bahwa nafs adalah bagian terpenting dari setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan.
Tentang penciptaan, dalam kisah Al-Qur'an Allah tidak pernah menyebutkan pernah berencana untuk memulai penciptaan manusia dengan seorang laki-laki dan juga tidak pernah merujukkan asal-mula manusia pada Adam.
Ayat-ayat Al-Qur'an yang menyebut kata nafs dan anfus menunjukkan bermacam-macam pengertian, diantaranya:
1. Berarti ‘hati’, yaitu salah satu komponen terpenting dalam diri manusia sebagai daya penggerak emosi dan rasa, seperti dalam surat Al-Isra’/17:25:
           • 

Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang-orang yang baik, Maka Sesungguhnya dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat.

2. Berarti ‘jenis’ atau species, seperti dalam surat At-Taubah/9:128:
             

Sungguh Telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin.

3. Berarti ‘nafsu’, yaitu daya yang menggerakkan manusia untuk memiliki keinginan atau kamauan. Dalam surat yusuf/12:53:
    • • •       •   

Dan Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), Karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyanyang.



Dalam literatur tasawuf, nafsu dikenal memiliki 8 macam , yaitu nafsu al-ammarah bi al-sū’, nafsu al-lawwamah, nafsu al-musawwalah, nafsu al-mutma’innah, nafsu al- mulhamah, nafsu ar-radiyah, nafsu al-mardiyyah, dan nafsu al-kāmilah.
4. Melambangkan arti ‘jiwa’ atau ‘ruh’, yaitu daya penggerak hidup manusia. Qs. Ali Imran/3:145:
                         

Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang Telah ditentukan waktunya. barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.

Juga terdapat dalam ayat 185:
              •  •         

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia Telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.

5. Menunjukkan ‘totalitas manusia’, yaitu diri manusia lahir dan batin. Dalam surat Al-Maidah/5:32:
                   ••      ••        •       

Oleh Karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan Karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan Karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan dia Telah membunuh manusia seluruhnya. dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah dia Telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya Telah datang kepada mereka rasul-rasul kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, Kemudian banyak diantara mereka sesudah itu. Sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.

6. Juga digunakan untuk menunjuk kepada ‘diri Tuhan’. Al-An’am/6:12:
  •             •             

Katakanlah: "Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi." Katakanlah: "Kepunyaan Allah." dia Telah menetapkan atas Diri-Nya kasih sayang. dia sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya. orang-orang yang meragukan dirinya mereka itu tidak beriman.

Secara umum jika dikaitkan dengan pembicaraan manusia, kata nafs menunjuk kepada sisi dalam manusia yang berpotensi baik dan buruk. Dalam pandangan Al-Qur'an nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna untuk berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan, dan karena itu sisi dalam manusia inilah yang oleh Al-Qur'an dianjurkan untuk diberi perhatian lebih besar.
Di sisi lain terlihat perbedaan kata nafs menurut Al-Qur'an dengan terminologi shufi. Al-Qushairi dalam risalahnya dinyatakan, “nafs dalam pengertian kaum sufi adalah sesuatu yang melahirkan sifat tercela dan perilaku buruk.
Walaupun Al-Qur'an menegaskan bahwa nafs berpotensi positif dan negatif diperoleh juga isyarat bahwa pada hakikatnya potensi positif manusia lebih kuat dari potensi negatifnya. Hanya saja daya tarik keburukan lebih kuat dari pada daya tarik kebaikan. Oleh karena itu , manusia dituntut agar memelihara kesucian nafsu dan tidak mengotorinya sebagaimana dalam surat Al-Syams ayat 9-10:
    .     .
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.

Disisi lain diperoleh pula isyarat bahwa nafs merupakan wadah. Dalam firman Allah surat Al-Ra’d ayat 11 yang mengatakan bahwa: "Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. Ini adalah mengisyaratkan hal tersebut.
2. Khalq
Kata khalq berarti ‘penciptaan’. Kata ini dan kata lain turunannya dalam Al-Qur'an disebut 261 kali, tersebar dalam 75 surah. Arti asal dari kata ini adalah taqdir atau ketentuan.
Dari seluruh penyebutan itu sebanyak 11 kali dalam 7 surah, kata khalq selain menekankan arti penciptaan, juga memiliki makna lain, sekalipun masih berkaitan dengan makna penciptaan, seperti ikhtilaq dalam surat Shad/38:7, berarti ‘perkataan dusta yang diada-adakan’; khalaq dalam surat Al-Baqarah/2:102,200 dan Ali Imran/3:77, at-Taubah/9:69 (tiga kali), berarti ; keuntungan yang diperoleh karena akhlak yang baik’;khuluk dalam As-Syu’ara’/26:137 dihubungkan dengan kata awwalīn, berarti ‘adat atau kebiasaan’ dan dalam Al-Qalam/68:4 berarti ‘akhlak atau budi pekerti’; dan mukhallaqah dalam Al-hajj/22:5 (2 kali), berarti ciptaan yang sempurna.
Dilihat dari pemakaiannya, kata khalq dalam Al-Qur'an mempunyai pengertian sbb:
1) Apabila obyeknya selain dari alam semesta, kata khalq berarti ijadusy-syai’ minasy-syai’= penciptaan sesuatu dari bahan atau materi (yang sudah ada).
2) Manusia (adam dan keturunannya) diciptakan Allah dari sesuatu atau materi yang sudah ada. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur'an sebanyak 28 kali dalam 24 surah. Misalnya manusia diciptakan dari sulalatin min thin, dalam surat Al-Mukminun/23:12
3) Iblis atau Jin. Diciptakan Allah dari bahan atau materi yang sudah ada. Hal ini dijelaskan secara eksplisit sebanyak 4 kali, yakni Al-A’raf/7:12, Shad/38:76, . iblis atau jin diciptakan Allah dari api (nār) seperti dijelaskan dalam surat Al-Hijr/15:27
4) Hewan, diciptakan Allah dari sesuatu yang sudah ada, yakni air dalam surat An-Nur/24:45
Apabila objeknya alam semesta maka Al-Qur'an tidak menjelskan secara rinci, apakah ia diciptakan dari bahan atau materi yang sudah ada atau dari ketiadaan. Kata khalq yang berobyek alam semesta dalam Al-Qur'an disebut 38 kali dalam 32 surah. Sebagai contoh Al-An’am/6:1 dan 73 dan Al-A’raf/7:54.
Jadi kata khalq yang obyeknya selain alam semesta titik tekannya adalah penciptaan jasad, seperti jasad manusia diciptakan dari tanah, iblis dan jin dari api, sedangkan kata khalq yang berobyek alam semesta tidak ditemukan petunjuk penekanannya secara tegas.
Disisi lain, kata khalq juga dapat menunjukkan aksentuasinya pada kemahakuasaan dan kehebatan ciptaan Allah. Ia maha kuasa menciptaka apa saja sesuai dengan ketentuan yang ditentukan-Nya dan sesuai dengan ukuran yang ditetapkan-Nya, walaupun proses dan sebab-sebab penciptaan-Nya kadang-kadang tidak terjangkau oleh daya nalar manusia. Atau tidak lazim berlaku, seperti penciptaan Isa as. Lewat seorang ibu tanpa ayah dalam surat Ali Imran/3:47, sedangkan mengenai kelahiran yahya as, dari sepasang suami istri sebagaimana layaknya manusia biasa, digunakan kata Ij’al dalam surat Ali Imran/3:40 dan 41.
Atas dasar itulah, di dalam Al-Qur'an disebut Al-Khāliq dan Al-Khallāq (maha pencipta dan sangat maha pencipta). dua kata ini dilihat dari maknanya khusus digunakan untuk Allah dan tidak boleh digunakan untuk apa-apa selain Allah. Dalam Al-Qur'an kata Al-Khāliq, bentuk (isim fail=kata benda yang menunjukkan pelaku) disebut pada delapan tempat, yakni dalam surat Al-An’am/6:102, Al-Ra’d/13:16, Al-Hijr/15:28, Fathir/35:3, Shad/38:71, Zumar/39:62, Ghafir/:62, Hasyr/59:24. Adapun kata Khallāq (bentuk superlative, al-mubalaghah, bentuk kata jadian yang mengandung makna ‘maha pelaku’) hanya terdapat di dalam Al-Hijr/15:86, dan yasin/36:81. Jadi sesuai dengan fungsi ism fa’il dalam bentuk al-mubalaghah itu, kata Khāliq lebih mempertegas lagi kemahaciptaan dan kemahakuasaan Allah sebagai khaliq.
Dalam Al-Qur'an ditemukan makna yang sama antara kata khalaqa dan ja’ala, misalnya "wakhalaqa minhā zaujahā", dalam surat An-Nisa’/4:1, ja’ala minhā zaujahā,dalam surat Al-A’raf/7:189, dan Az-Zumar/39:6. Kedua kata ini menujukkan arti yang sama. Akan tetapi dalam hal ini kata khalaqa menunjukkan kemahakuasaan dan kehebatan ciptaan Allah yang tiada taranya, sedangkan kata ja’ala hanya menujukkan bahwa penciptaan itu dari materi yang sudah ada, yakni nafsin wāhidah.
Al-Qur'an juga menunjukkan bahwa penciptaan dengan kata khalq pada dasarnya digunkan khusus untuk Allah. Adapun pemakaiannya dalam Al-Qur'an kepada apa-apa selain Allah hanya sebatas lafadz dan tidak hakiki. Kata khāliqin dalam bentuk jamak juga berarti demikian. Pemakaian ini dimaksudkan untuk tujuan tertentu, yang pada hakikatnya perbuatan tersebut tidak mungkin dilakukan oleh manuisia pada umumnya. Misalnya dalam surat Ali Imran/3:49, Al-Ma’idah/5:110, kata khalq digunakan untuk mengungkapkan kemampuan nabi Isa untuk menciptakan burung yang sebenarnya dari tanah dengan izin Allah. Hal ini dipakaikan Allah kepadanya sebagai suatu mukjizat untuk menguatkan kenabiannya. Demikian pula dalam surat An-Nahl/16:17 kata khalq digunakan untuk selain Alllah (berhala). Hal itu dimaksudkan sebagai tantangan dari Allah, apakah Allah yang menciptakan tersebut sama dengan tuhan berhala yang disembah yang tidak bisa berbuat apa-apa. Dalam surat Al-Ankabut/29:17, kata khalq digunakan untuk orang yang berbuat dosa, untuk menunjukkan bahwa perbuatan mereka itu mengada-ada saja dan sangat salah.
3. Zauj
Kata zauj (berbentuk maskulin yang artinya suami) dan zaujah (berbentuk feminim yang berarti istri) dalam bahasa Arab merupakan kata yang saling berlawanan. Namun Al-Qur'an hanya menggunakan kata zauj, baik untuk menunjuk suami atau istri. Al-Qur'an tidak pernah menyebut istri dengan kata zaujah, namun menggunakan kata azwaj yang merupakan jamak dari zauj.
Kata zauj pada mulanya adalah sesuatu yang (semula ganjil) menjadi genap, atau sepasang, setelah bergabung dengan sesuatu yang lain. Maka, ketika Allah berbicara tentang wanita dan pria, Allah SWT berfirman: "lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang; laki-laki dan perempuan" (QS. Al-Qiyamah/75:37-38). Terkadang bahasa Arab menggunakan kata zauj dan zaujah hanya untuk menghindari terjadinya kebingungan pada saat penggunaannya sehingga bercampur panggilan antara istri dan suami.
Dalam Al-Qur'an, zauj digunakan untuk arti "teman", "pasangan", atau "kelompok", dan bentuk jamaknya azwāj digunakan untuk merujuk pada "pasangan" sebagaimana dijadikan rujukan pada bagian kedua dalam penciptaan manusia yang para mufassir memahaminya sebagai Hawa, manusia pertama dari kaum perempuan . Namun secara gramatikal zauj adalah bentuk mudzakkar (male) dengan menghubungkan kata sifat mudzakkar dengan kata kerja mudzakkar sebelumnya. Namun secara konseptual kata zauj tidak menunjukkan bentuk muannas (female) atau mudzakkar (male), kedua-duanya dipergunakan dalam Al-Qur'an.
Ditujukan dalam bentuk maskulin, sebagaimana dalam surat An-Nisa'/4:20:
    •             

Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu Telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?.

Ditujukan dalam bentuk feminisme, pada surat Al-Baqarah/2:230:
                    •           

Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) Mengetahui.
Kata zauj juga digunakan untuk tanaman atau hewan, sebagaimana dalam surat Ar-Rahman/55:52:
    

Di dalam kedua syurga itu terdapat segala macam buah-buahan yang berpasangan.



No comments:

Post a Comment